Aturan untuk mewajibkan seluruh KKKS minyak dan gas bumi menawarkan minyak mentah yang mereka produksi ke Pertamina sebenarnya sudah diluncurkan sejak 2021, yakni Peraturan Menteri ESDM No. 18/2021.
Aturan tersebut sekaligus menjadi pembaharuan dari regulasi sebelumnya, yakni Permen ESDM No. 42/2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.
"Setelah itu, Permen ESDM yang tahun 2021 harus ditawarkan dan sekarang kita sudah hampir seluruhnya di dalam negeri," tutur Dadan menegaskan.
Menurutnya, pemerintah belum akan merilis beleid baru yang mengatur mandatori pengolahan minyak mentah oleh Pertamina di dalam negeri karena Permen No. 18/2021 sebenarnya sudah mengakomodasi kegiatan pengolahan minyak mentah di Indonesia.
"Secara aturan kan sudah jelas, itu prioritas di dalam negeri. Dengan aturan yang sekarang pun sebetulnya itu bisa dieksekusi," ucap Dadan.
Sebelumnya, Bahlil pernah menyatakan pemerintah akan menyetop ekspor minyak mentah bagian negara dan mewajibkan diolah kilang lokal.
Selain itu, minyak mentah bagian kontraktor yang tidak sesuai spesifikasi juga diminta untuk diolah dan dicampur, sehingga memenuhi standar yang diperlukan untuk konsumsi kilang domestik. Bahlil menyebut kebijakan ini untuk mempercepat tercapainya tujuan swasembada energi.
“Sesuai arahan Presiden Prabowo, kami telah meminta kilang-kilang dalam negeri untuk memanfaatkan semua crude, termasuk yang sebelumnya dianggap tidak memenuhi spesifikasi. Dengan demikian, ekspor crude makin menurun,” kata Bahlil dalam keterangan resmi, Senin (27/1/2025).
Kilang Tua
Lain siis, upaya Indonesia menyetop aliran ekspor minyak mentah guna memacu produksi BBM di dalam negeri dinilai bakal ditantang oleh kondisi banyaknya kilang domestik yang sudah berusia tua.
Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Ardhi Wardhana berpendapat kilang-kilang tua di Indonesia tidak efisien untuk memproduksi dan memenuhi kebutuhan BBM harian di dalam negeri.
“Banyaknya kilang yang tua dan masih belum memadainya kapasitas dan efisiensi kilang untuk memenuhi kebutuhan harian dalam negeri menjadi penyebab rendahnya produktivitas,” kata Ardhi saat dihubungi.
Saat ini, Pertamina mengoperasikan enam kilang, yaitu; Refinery Unit (RU) II Dumai, RU III Plaju, RU IV Cilacap, RU V Balikpapan, RU VI Balongan, dan RU VII Kasim.
Kapasitas terpasang pengolahan minyak mentah kumulatif di enam kilang Pertamina mencapai sebesar 1.031 MBOPD, atau sekitar 90% dari kapasitas pengolahan yang ada di Indonesia.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat konsumsi BBM di Indonesia mencapai 505 juta barel pada 2023. Sebanyak 49% di antaranya didominasi oleh permintaan dari sektor industri transportasi.
Mengingat tingginya kebutuhan BBM di dalam negeri, Ardhi berpendapat kilang-kilang minyak di dalam negeri membutuhkan perbaikan cepat, terlebih beberapa di antaranya mengalami kerugian akibat kecelakaan kerja atau insiden kebakaran pada rentang 2021—2024.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan ekspor minyak dan gas (migas) turun 31,35%, yaitu dari US$1,5 miliar menjadi US$1,05 miliar pada Januari 2025.
Penurunan ekspor migas disebabkan oleh menurunnya ekspor minyak mentah 69,33% menjadi US$70,9 juta, ekspor hasil minyak turun 14,92% menjadi US$398,6 juta dan ekspor gas alam turun 30,06% menjadi US$587,4 juta.
Secara kumulatif, nilai ekspor migas Indonesia periode Januari—Desember 2024 mencapai US$264,70 miliar atau naik 2,29% dibandingkan dengan periode yang sama 2023.
(mfd/wdh)