Sementara beberapa mata uang Asia lain masih di zona hijau sepanjang tahun ini, dipimpin oleh yen Jepang dengan penguatan 4,36% ytd, lalu dolar Singapura 1,06%, won 0,80%, yuan renminbi dan offshore masing-masing menguat 0,61% dan 0,29%, serta ringgit 0,22%.
Kejatuhan rupiah terindikasi memukul bursa saham domestik. Mata uang yang makin lemah, mengancam prospek pertumbuhan emiten di bursa saham. Di tengah kelesuan konsumsi domestik serta sentimen pembuatan Sovereign Wealth Fund (SWF) Danantara, para investor asing tak berhenti keluar dari pasar domestik.
Sepanjang tahun ini, dana asing yang hengkang dari pasar ekuitas RI telah mencapai US$ 1,33 miliar. Angka itu setara Rp22,21 triliun dengan kurs dolar AS sekarang.
Sementara dari pasar surat utang negara, investor asing tercatat melepas sedikitnya Rp3,82 triliun selama pekan lalu hingga data terakhir per 27 Februari.
Sebaliknya, investor asing menambah posisi di di instrumen moneter, Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), kemungkinan karena keputusan BI kembali mengerek tingkat bunga diskonto SRBI dalam lelang Jumat lalu.
Sepanjang tahun ini hingga data 27 Februari, seperti dilaporkan oleh otoritas moneter, posisi net buy asing di SRBI meningkat menjadi Rp7,67 triliun. Posisi net buy itu lebih tinggi dibanding data terakhir per 20 Februari yang masih di kisaran Rp3,23 triliun.
Bila menghitung pekan lalu saja, yaitu periode transaksi 24-27 Februari, investor asing mencatat posisi net sell di pasar portofolio domestik senilai Rp10,33 triliun. Angka itu terdiri atas net sell saham sebesar Rp7,31 triliun, net sell SUN senilai Rp1,24 triliun dan net sell di SRBI sebesar Rp1,78 triliun.
Risiko nilai tukar
Pelemahan rupiah ditengarai menjadi salah satu faktor utama yang memicu modal asing terus hengkang dari pasar keuangan Indonesia.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat penurunan hingga 11,4% year-to-date ketika rupiah jadi yang terburuk di Asia.
Kejatuhan IHSG itu menjadikannya sebagai bursa dengan kinerja terburuk kedua setelah bursa saham Thailand yang amblas hingga lebih dari 12%.
Namun, IHSG lebih buruk dibanding bursa saham Malaysia yang ‘hanya’ turun 3,2%. Bahan bursa saham Vietnam pada saat yang sama masih mencatat return positif 2,42% year-to-date.
Faktor nilai tukar yang terus merosot, kian menggerus daya tarik bursa saham domestik di mata asing.

Dalam riset yang pernah dilansir, JPMorgan mengatakan, pelemahan rupiah yang terus berlarut bisa mengancam pertumbuhan perusahaan-perusahaan yang tercatat sahamnya di bursa domestik.
"Analisis kami menunjukkan, korporasi di Indonesia akan dirugikan akibat pelemahan rupiah karena sebagian dari biaya input bahan baku dan pengeluaran belanja modal melibatkan barang-barang impor sementara sebagian besar pendapatan adalah dalam rupiah. Selain itu, beberapa korporasi di Indonesia masih memiliki eksposur utang dolar AS," kata Head of Research JPMorgan Henry Wibowo dalam riset yang dilansir bulan lalu.
Analisis JP Morgan, setiap pelemahan rupiah sebesar 1% terhadap dolar AS, itu akan berdampak pada pertumbuhan laba per saham, EPS (Earning per Share) sebesar 0,5%.
"Bila nilai tukar rupiah makin terdepresiasi hingga 5% atau di Rp17.000/US$, kemungkinan ada revisi pendapatan jadi turun sebesar 2,5% dari skenario dasar kami 5% pada tahun 2025. Meski demikian, sensitivitasnya menunjukkan paparan korelasi yang lebih rendah dibanding satu dekade lalu di mana setiap pelemahan rupiah 1% akan berdampak -1% pada pertumbuhan EPS," kata Henry.
Selain rupiah yang menggerus prospek pendapatan emiten ke depan, perusahaan di bursa juga menghadapi lingkungan kelesuan ekonomi yang belum menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Itu pula yang menjadi alasan di balik keputusan Morgan Stanley menurunkan peringkat saham MSCI Indonesia dari ‘equal weight’ menjadi ‘underweight’ pada awal pekan lalu.
Kelesuan ekonomi domestik diperkirakan akan berdampak pada penurunan return on equity (RoE). Ahli Strategi Morgan Stanley, Jonathan Garner, menjelaskan bahwa indikator ekonomi terkini menunjukkan kurangnya momentum pertumbuhan, yang disebabkan oleh lemahnya siklus belanja modal di Indonesia.
"Investasi terhadap PDB bergerak sideways sepanjang tahun 2025, berkisar 29% PDB dibandingkan rata-rata 32% sebelum pandemi Covid-19. Hal ini kemungkinan berarti berkurangnya penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan pendapatan," ujar Garner, dalam riset yang dirilis 19 Februari.
Prediksi Goldman Sachs
Sebelumnya, bank investasi global, Goldman Sachs, merilis analisis tentang rupiah yang diperkirakan akan underperform alias berkinerja lebih buruk dibanding mata uang Asia lain dalam waktu dekat.
Sentimen seputar kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump ditambah arus keluar modal asing yang terus berlangsung, akan menjadi faktor utama yang menyeret kinerja rupiah ke depan, menurut analisis Goldman Sachs, dilansir dari Bloomberg pekan lalu. "Rupiah merupakan mata uang paling volatile di kawasan Asia dengan tingkat beda tinggi terhadap dolar AS," kata Rina Jio, analis Goldman Sachs, dalam catatannya.
Pasar saat ini masih belum menghitung sepenuhnya (underpricing) risiko tarif AS. Dolar AS bisa semakin kuat ketika tarif terhadap China, Uni Eropa dan barang impor penting lain mulai diimplementasikan.
Di sisi lain, tekanan faktor musiman ketika musim pembagian dividen datang pada Maret dan April, akan meningkatkan permintaan dolar AS di Indonesia dan memberi tekanan lebih besar pada rupiah. Goldman Sachs menilai, faktor eksternal akan lebih dominan menyetir rupiah.
(rui)