Namun, parlemen yang dikuasai oposisi menuduh Yoon telah menyalahgunakan wewenangnya. Badan anti-korupsi pun menangkapnya pada Januari lalu, menjadikannya presiden Korsel pertama yang ditahan saat masih menjabat.
Meski sebagian besar demonstrasi berlangsung damai, kekerasan sempat pecah pada Januari lalu ketika sekelompok massa menyerbu pengadilan yang memperpanjang masa penahanan Yoon. Beberapa di antaranya memanjat pagar dan menerobos barikade demi memasuki Pengadilan Distrik Barat Seoul.
Ketegangan politik ini telah memengaruhi sentimen konsumen dan dunia usaha, yang kemungkinan besar akan berlanjut hingga Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusannya, yang diperkirakan terjadi pada pertengahan Maret.
"Kami meyakini bahwa berakhirnya ketidakpastian akan membantu pemulihan sentimen pasar. Namun, kami tetap berhati-hati mengingat situasi yang sangat volatil," ujar Jin Choi, ekonom HSBC Bank, dalam sebuah catatan analisis.
Jika Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mencopot Yoon dari jabatannya, pemilu sela harus diselenggarakan dalam waktu 60 hari. Untuk sementara, Menteri Keuangan Choi Sang-mok menjalankan pemerintahan sebagai presiden sementara setelah pemakzulan Yoon. Sementara itu, Perdana Menteri Han Duck-soo juga diskors karena menolak memenuhi tuntutan oposisi untuk segera menunjuk hakim konstitusi baru.
Kekosongan kepemimpinan ini dinilai telah melemahkan kemampuan Korsel dalam bernegosiasi secara efektif dengan Presiden AS Donald Trump, yang mengancam akan memberlakukan tarif impor baru terhadap mitra dagangnya.
Yoon pertama kali terpilih sebagai presiden pada 2022 dengan janji mempererat hubungan dengan AS serta mengambil sikap lebih keras terhadap Korut. Sebagai mantan jaksa yang pernah memimpin berbagai investigasi korupsi berprofil tinggi, Yoon berhasil memenangkan pemilu dengan selisih tipis dari Lee Jae-myung, pemimpin Partai Demokrat yang dikenal mendorong kebijakan redistribusi kekayaan dan pendekatan diplomasi yang lebih lunak terhadap Pyongyang.
(bbn)