Logo Bloomberg Technoz

“Bedanya istilah oplos itu digunakan untuk sesuatu yang ilegal, tidak semestinya,” kata Moshe saat dihubungi, Jumat (28/2/2025).

SPBU Pertamina./Bloomberg-Dimas Ardian

Sementara itu, blending merupakan proses perbaikan mutu BBM dengan mencampurkan beberapa BBM yang memiliki karakteristik yang berbeda hingga zat aditif untuk mendapatkan bahan bakar hasil bauran yang sesuai dengan produk yang diinginkan.

“Terkait dengan kualitas dari BBM itu, jadi prosesnya makin tinggi, kualitasnya makin tinggi. Kadang-kadang memang di-blending, itu normal. Jadi high quality, low quality, untuk dapat yang tengah-tengahnya dicampur dua-duanya, ada blending, ada prosesnya,” ujar Moshe.

Moshe menjelaskan blending bukan merupakan kegiatan yang kompleks karena hanya menambahkan zat aditif dalam pencampuran jenis BBM, sesuai dengan sales product yang diinginkan. Dengan demikian, performa BBM yang hasilkan akan lebih optimal.

Dia menggarisbawahi, dalam praktiknya, blending dilakukan dengan formula hingga prosedur operasional standar yang berlaku.

“Biasanya berhubungan sama pembakarannya. Jadi ada dua hal dalam BBM, satu adalah pembakarannya lebih bersih, lebih bagus, lebih sempurna. Kedua dari sisi emisinya, gas buangnya, lebih rendah,” ucap dia.

Mengutip jurnal berjudul Analisis Quality Control Koreksi Blending BBM Jenis Premium dan Pertalite (2020), blending BBM merupakan proses pencampuran light naphta terhadap produk jadi yang telah selesai diproduksi.

Sebagai contoh, jenis BBM premium mendominasi nilai oktan saat awal produksi sebesar 88.8. Walhasil, perlu dilakukan koreksi agar oktan tersebut berubah menjadi 88.0 agar mesin dapat melakukan pembakaran.

Kemudian, Pertalite memiliki nilai oktan 90.4 pada saat awal produksi dan perlu dilakukan blending agar nilai oktannya menjadi 90.0.

Jika nilai oktannya lebih tinggi, maka akan mengakibatkan mesin tidak dapat melakukan pembakaran. Untuk itu, dilakukan pencampuran antara produk jadi dengan bahan lain.

Hal ini untuk menurunkan nilai oktan sehingga produk dapat dipasarkan. Sebaliknya, jika nilai oktan rendah mengakibatkan BBM mudah terbakar dan berbahaya.

Tangki penyimpanan bahan bakar di fasilitas PT Pertamina di Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta./Bloomberg-Dimas Ardian

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia membenarkan metode blending di kilang minyak adalah hal yang diperbolehkan, selama kualitas dan spesifikasinya setara. Namun, metode ini tidak akan digunakan untuk BBM dengan RON tinggi seperti Pertamax Turbo RON 98.

“Kalau itu beda lagi, itu kan ada RON 90, RON 92, 95, sampai 98. Ya bagus-bagus ini tidak mungkin dicampur, karena itu ada speknya kok. Tidak perlu khawatir,” tuturnya, ditemui di kantor Kementerian ESDM, Rabu (26/2/2025).

Injeksi 

Di sisi lain, PT Pertamina Patra Niaga mengakui bahwa dalam proses produksi BBM jenis Pertamax RON 92, terdapat penambahan zat aditif dan pewarna melalui proses injeksi blending.

Pelaksana Tugas Harian Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo, menegaskan meski terdapat penambahan zat aditif, hal ini tidak akan berdampak pada perubahan research octane number atau RON. Hanya saja, penambahan aditif bertujuan untuk meningkatkan nilai serta performa produk dari BBM jenis Pertamax.

"Penambahan aditif itu juga merupakan benefit tambahan yang kita berikan kepada masyarakat. Hal ini tentunya menjadi bagian dari strategi pemasaran sebetulnya," terang Ega saat rapat bersama Komisi XII DPR RI, Rabu (26/2/2025).  

Menurutnya, penambahan aditif bagi Pertamax dilakukan untuk mencegah terjadinya korosi dan karat. Dengan begitu, mesin kendaraan menjadi lebih bersih.

Adapun, President Director & Managing Director Mobility Shell Indonesia Ingrid Siburian menggambarkan produk bensin setara Pertamax milik Pertamina menggunakan base fuel RON 92.

Di dalam industri produk kilang, base fuel tersebut kemudian dicampurkan zat aditif untuk menambah nilai tambah BBM, sehingga setiap bensin yang dihasilkan memiliki keunggulannya masing-masing. Praktik blending tersebut juga dilakukan oleh Shell.

Senada, Direktur Utama PT Aneka Petroindo Raya (BP-AKR Fuels Retail) Vanda Laura mengungkapkan zat aditif yang ditambahkan ke dalam produk BBM ditujukan untuk menjamin kualitas produk yang ingin dihasilkan di Indonesia, berdasarkan ketentuan regulasi pemerintah dan BP Plc.

Dua pejabat Pertamina Patra Niaga jadi tersangka baru kasus korupsi Minyak Mentah; Maya Kusmaya dan Edward Corne. (Bloomberg Technoz/Azura Yumna)

Riuh dugaan pengoplosan BBM RON 90—bahkan RON 88 — untuk dijadikan sebagai Pertamax RON 92 sebelumnya mencuat di tengah perkembangan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di lingkungan subholding Pertamina, yang tengah diselidiki oleh Kejaksaan Agung.

Kasus itu telah menyeret 6 petinggi subholding Pertamina dan 3 broker sebagai tersangka.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengklarifikasi dugaan Pertamax RON 92 yang tidak sesuai spesifikasi tersebut merupakan fakta hukum yang ditemukan tim penyidik Kejagung hanya pada periode 2018—2023, bukan sampai dengan saat ini atau 2025.

Harli menggarisbawahi temuan Kejagung terkait dengan ketidaksesuaian RON terhadap BBM Pertamina merupakan fakta hukum yang dikumpulkan oleh tim penyidik pada rentang 2018—2023.

“Benar bahwa ada fakta hukum yang diperoleh penyidik bahwa PT Pertamina Patra Niaga melakukan pembayaran dengan nilai RON 92, padahal di dalam kontrak, itu di bawah RON 92. Katakanlah RON 88. Artinya, barang yang datang tidak sesuai dengan price list yang dibayar.”

Menurut Harli, temuan fakta hukum ihwal RON BBM Pertamina tersebut sudah selesai dua tahun lalu. Dengan kata lain, produk Pertamax yang bermasalah sudah habis terserap atau terkonsumsi oleh masyarakat pada periode tersebut.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar menyampaikan, dari hasil pemeriksaan terungkap, tersangka Maya dan Edward atas persetujuan Riva Siahaan (mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga) melakukan pembelian minyak mentah secara impor.

Pada saat itu, kata Qohar, keduanya justru membeli minyak dasar RON 90 (setara Pertalite) atau bahkan RON 88 (setara Premium) atas kebutuhan Pertamina untuk RON 92 (setara Pertamax).

Kemudian, Maya juga memberikan persetujuan dan memerintahkan Edward untuk melakukan pencampuran pada base fuel RON 88 atau RON 90 tersebut dengan RON 92 di terminal Pelabuhan Merak milik perusahaan Gading Ramadan dan Muhammad Kerry, yakni PT Orbit Terminal Merak.

Produk campuran tersebut, terang Qohar, lalu dijual ke pasaran dengan harga RON 92 atau Pertamax di SPBU.

“Hal ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan core business PT Pertamina Patra Niaga,” tutur Qohar.

(mfd/wdh)

No more pages