Bloomberg Technoz, Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus mengalami gempuran. Indeks bahkan sempat menyentuh level terendah sejak masa Covid-19.
Hingga pukul 11.30, IHSG sempat anjlok ke level 6.508,79 berdasarkan data Bloomberg, Kamis (27/2/2025).
Jika ditarik data lebih jauh, level tersebut menjadi yang terendah sejak masa Covid-19, khususnya pada kisaran November 2021. Saat itu, indeks sempat berada di level 6.459,01.
Hingga pukul 11.35, penurunan IHSG semakin dalam. Indeks bahkan anjlok 1,72% ke level 6.492,4.
Jelang penutupan siang ini, IHSG bahkan anjlok lebih dari 2% ke level 6.458.
Pengamat dan praktisi investasi Desmond Wira menilai, kondisi pasar saat ini tidak menguntungkan bagi investor, dengan berbagai faktor yang membebani prospek ekonomi dan investasi di Tanah Air.
Menurutnya, salah satu pukulan terbesar bagi pasar saham datang dari keputusan Morgan Stanley yang menurunkan peringkat saham Indonesia dalam indeks MSCI dari equal weight menjadi underweight.
Perubahan ini memicu aksi jual investor asing dalam jumlah besar setiap harinya, semakin memperburuk tekanan di bursa domestik.
"Saat ini pasar saham Indonesia lebih banyak didominasi sentimen negatif daripada positif. Investor asing masih mencatatkan net sell dalam jumlah besar setiap harinya, dan peringkat saham Indonesia dalam indeks MSCI juga diturunkan dari equal-weight menjadi underweight," ujar Desmond saat dihubungi Bloomberg Technoz, Kamis (27/2/2025).
Selain hengkangnya investor asing, kebijakan pemerintah dalam memangkas anggaran belanja negara hingga Rp750 triliun dalam tiga putaran dinilai dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi stimulus yang seharusnya dapat menopang daya beli masyarakat.
Kisruh dalam sistem perpajakan nasional, terutama penerapan sistem Coretax, juga berpotensi mengurangi pendapatan negara dari sektor pajak. Masalah ini semakin diperparah dengan besarnya utang jatuh tempo Indonesia pada 2025 yang mencapai sekitar Rp800 triliun, yang menimbulkan kekhawatiran terhadap kemampuan negara dalam menjaga stabilitas fiskal.
Sementara itu, nilai tukar rupiah terus melemah dan bertahan di kisaran Rp16.300 per dolar AS, mencerminkan tekanan eksternal yang masih kuat terhadap ekonomi nasional. Sektor komoditas yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia juga tidak luput dari tekanan.
Harga sejumlah komoditas utama mengalami tren penurunan, yang berdampak pada kinerja perusahaan berbasis sumber daya alam serta pendapatan negara.
Di saat yang sama, konsumsi domestik juga belum mampu menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi, dengan daya beli masyarakat yang masih lemah dan hasil kinerja keuangan kuartal I 2024 dari sejumlah emiten besar, termasuk perbankan, yang kurang memuaskan.
Kehadiran Danantara
Di tengah berbagai tekanan tersebut, kehadiran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Desmond menyoroti pemilihan petinggi dan pengawasnya yang mayoritas berasal dari kalangan politikus, bukan profesional di bidang investasi, yang semakin menambah sentimen negatif terhadap kepercayaan pasar.
"Danantara seharusnya menjadi katalis positif bagi investasi, tetapi pemilihan jajaran pengawasnya justru menimbulkan keraguan. Jika pengelolaannya tidak transparan, maka dampaknya bisa kontraproduktif terhadap kepercayaan investor," katanya.

Dengan berbagai tekanan yang terjadi, ia pesimistis terhadap kinerja IHSG sepanjang tahun ini dan memperkirakan tekanan terhadap pasar saham masih akan berlanjut dalam waktu dekat. Dalam kondisi seperti ini, Desmond menyarankan agar investor lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi.
Menggunakan dana pribadi atau uang dingin menjadi langkah pertama yang harus diperhatikan agar tidak terjebak dalam risiko besar akibat volatilitas pasar.
Diversifikasi juga menjadi strategi yang penting, baik dengan menyebar investasi ke berbagai aset seperti saham, obligasi, komoditas, atau properti, maupun dengan memilih saham dari sektor-sektor yang lebih defensif seperti kesehatan, konsumer non-siklikal, dan infrastruktur.
Membeli saham secara bertahap dengan strategi Dollar Cost Averaging (DCA) juga bisa menjadi cara untuk meredam risiko dari volatilitas harga.
Namun, bagi investor yang ingin menghindari ketidakpastian di pasar saham, mengalokasikan dana ke aset yang lebih aman seperti emas atau obligasi dapat menjadi pilihan meskipun tingkat keuntungannya lebih rendah.
Dengan berbagai tantangan yang dihadapi pasar saat ini, Desmond menegaskan bahwa kehati-hatian adalah kunci utama agar investor tidak terjebak dalam tekanan yang lebih dalam.
Beda Sikap
Investor kawakan Lo Kheng Hong menilai kondisi pasar saham Indonesia saat ini sebagai peluang besar bagi investor untuk mengakumulasi saham berkualitas.
Menanggapi penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat ditutup di bawah level 6.600 setelah anjlok lebih dari 2%, Lo Kheng Hong menegaskan bahwa situasi ini justru menghadirkan kesempatan.
“Dana asing kabur, harga saham blue chip turun banyak. Artinya sedang terjadi hujan emas di Bursa Efek Indonesia. Ambillah ember yang besar untuk menampung hujan emas di sana,” kata Lo Kheng Hong kepada Bloomberg Technoz, Kamis (27/2).
Saat ditanya mengenai prospek IHSG tahun ini, ia tetap percaya diri. “Selalu optimis,” ujarnya singkat.
Meskipun sentimen negatif global dan domestik masih membayangi pergerakan indeks, pandangan Lo mencerminkan filosofi investasinya yang fokus pada nilai jangka panjang.
(dhf)