“Pemerintah atas arahan Bapak Presiden Meminta kepada kami sebagai Menteri ESDM untuk memastikan seluruh dana subsidi di semua kementerian, khususnya di ESDM adalah memastikan agar itu nyampe di rakyat,” katanya
Bahlil menyampaikan satu contoh kasus yang terjadi dalam penyaluran subsidi BBM, di mana sebagian subsidi BBM tersebut malah digunakan untuk industri.
“Ini kan subsidi tidak tepat sasaran. Subsidi untuk saudara-saudara kita yang berhak menerimanya, tetapi kan masih dipakai juga oleh orang kaya,” ungkap Bahlil.
Terkait dengan subsidi LPG, Bahlil kembali menyinggung keputusannya yang sempat mengarahkan penjualan LPG 3 Kg tidak diperjual-belikan di pengecer, tetapi dialihkan ke pangkalan resmi Pertamina. Dia berpandangan hal tersebut sebenarnya penting karena masyarakat kerap mendapatkan kualitas yang menurun.
“Harganya idealnya itu harusnya sampai di rakyat itu maksimal Rp17.000—Rp18.000 per tabung. Kalau di wilayah Jawa, mungkin di luar Jawa sedikit, mungkin ya mungkin bisa Rp18.000—Rp19.000 per tabungn. Udah lah, itu paling mentok,” jelas Bahlil.
“Akan tetapi, apa yang terjadi? Jual Rp20.000 per tabung. Rata-rata, studi saya udah keluar, rata-rata dijual Rp23.000—Rp24.000 per tabung. Jadi ada yang Rp25.000, ada yang Rp23.000, ada yang Rp22.000, ada yang Rp30.000. Dirata-ratain itu Rp23.000,” tambahnya
Sementara itu, negara sudah mengeluarkan biaya Rp18.000 per tabung untuk subsidi LPG 3 Kg. Di pun mnduga telah terjadi markup harga sebesar Rp5.000 per tabung, padahal seharusnya masyarakat bisa lebih menghemat Rp5.000 per tabung Gas Melon.
“Terus ini kalau tidak ditata, gimana? Sementara negara sudah bayar, Rp5.000 bagi Rp36.000, kali 100%. Itu kan sekitar 16%—17% kali Rp87.000.000. Itu berarti berapa? Rp12 triliun—Rp13 triliun,” terangnya.
Selain permintaan untuk mengaudit produk ritel Pertamina, pemerintah juga menerima dorongan untuk mengganti kerugian masyarakat akibat adanya pengoplosan terhadap BBM RON 92 dengan RON 90 pada periode 2018—2023.
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Mufti Mubarok mengatakan apabila dugaan pengoplosan tersebut terbukti, masyarakat selaku konsumen harus mendapatkan hak nya sesuai dengan UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
“Dalam kasus ini, konsumen dijanjikan RON 92 Pertamax dengan harga yang lebih mahal, malah [diduga] mendapatkan RON 90 Pertalite yang lebih rendah. Selain itu, juga merampas hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa,” kata Mufti.
(fik/wdh)