Elias Haddad dari Brown Brothers Harriman menambahkan, "Tanda bahaya mulai muncul. Jika data ekonomi AS terus melemah selama satu atau dua bulan ke depan, narasi bahwa ekonomi AS lebih unggul dari negara lain bisa terpukul."
Sementara itu, Keith Lerner dari Truist Advisory Services menilai bahwa tren utama di pasar saham masih positif dan risiko resesi tetap rendah. Namun, dalam jangka pendek, risiko dan peluang tampak lebih seimbang.
S&P 500 turun 0,5%. Nasdaq 100 turun 1,2%. Dow Jones Industrial Average naik 0,4%. Indeks megacap "Magnificent Seven" turun 2,2%. Menjelang hasil Nvidia Corp., sahamnya turun 2,8%. Saham Nvidia Corp turun 2,8% menjelang laporan keuangan
Di pasar obligasi, imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun turun 11 basis poin menjadi 4,29%. Pasar uang kini memperkirakan lebih dari dua kali pemangkasan suku bunga oleh The Fed pada 2025. Indeks dolar AS turun 0,2%.
"Pasar tiba-tiba turun akibat kekhawatiran perlambatan pertumbuhan ekonomi. Bukankah beberapa minggu lalu semua orang justru khawatir pertumbuhan ekonomi terlalu kuat dan inflasi makin tinggi?" kata analis Bespoke Investment Group.
Meskipun ada tanda-tanda perlambatan, beberapa indikator ekonomi masih menunjukkan pertumbuhan. Tiga dari lima laporan manufaktur The Fed yang dirilis bulan ini mencatat ekspansi.
Jeff Roach dari LPL Financial berpendapat bahwa konsumen semakin khawatir dengan dampak tarif impor yang akan datang. Sehingga dapat mendorong permintaan konsumen karena mereka mengantisipasi harga impor yang lebih tinggi dalam waktu dekat.
Namun, Roach mengingatkan bahwa survei keyakinan konsumen sering kali lebih volatil dibanding data ekonomi riil, seperti penjualan ritel. Oleh karena itu, menurutnya, The Fed tidak mungkin mengubah kebijakan dalam beberapa pertemuan mendatang.
Ekspektasi inflasi untuk tahun depan meningkat ke level tertinggi sejak Mei 2023. Pejabat The Fed, termasuk Ketua Jerome Powell, telah menegaskan bahwa suku bunga akan tetap dipertahankan sampai inflasi menunjukkan tanda-tanda penurunan yang lebih jelas.
"Keyakinan konsumen terus turun setelah lonjakan pasca pemilu November lalu," kata Bret Kenwell dari eToro. "Ketidakpastian ekonomi tetap tinggi, baik terkait tarif maupun data domestik seperti inflasi dan penjualan ritel."

Para investor kini menanti laporan inflasi yang akan dirilis pekan ini. Indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi inti (Core PCE), yang tidak memasukkan harga pangan dan energi, diperkirakan naik 2,6% secara tahunan pada Januari—laju paling lambat sejak Juni lalu.
"Investor harus mencermati laporan PCE pekan ini," ujar Kenwell. "Data ini akan memberikan gambaran tentang daya beli konsumen. Jika angkanya sesuai atau lebih rendah dari ekspektasi, itu bisa menjadi katalis positif bagi konsumen dan investor."
Sebelum itu, pasar juga menunggu laporan keuangan Nvidia, yang dianggap sebagai barometer utama tren kecerdasan buatan (AI). Saham perusahaan ini berada di titik kritis, dengan kondisi teknikal pasar yang rentan.
Banyak faktor yang membuat pasar saham berisiko saat ini. Investor ritel mulai mengurangi aktivitasnya, investor berbasis tren cenderung menjual saham dalam berbagai skenario, dan pergerakan opsi saham tidak mendukung pasar.
"Pasar saat ini memiliki lebih sedikit penyangga volatilitas, sehingga laporan keuangan Nvidia yang buruk bisa menjadi pemicu lonjakan volatilitas," kata analis opsi dari Tier 1 Alpha.
Investor akan mencermati apakah Nvidia melampaui ekspektasi laba, pendapatan, dan penjualan chip, serta menunggu komentar CEO Jensen Huang mengenai prospek perusahaan. Pergeseran ke arsitektur chip baru, Blackwell, dari model lama, Hopper, bisa menyebabkan pelanggan menunda pembelian hingga produk baru lebih tersedia.
Di tengah performa pasar saham Eropa dan China yang lebih baik, beberapa investor mulai meragukan potensi kenaikan lebih lanjut bagi S&P 500.
"Semakin lama S&P 500 gagal mencapai rekor tertinggi baru, semakin besar keraguan di kalangan investor," kata Michael Hartnett dari Bank of America.
Hartnett menyarankan untuk mengalihkan investasi ke pasar saham internasional ketimbang AS tahun ini, dengan alasan saham teknologi raksasa—seperti yang tergabung dalam "Magnificent Seven"—lebih rentan terhadap penurunan jika tren pertumbuhan mereka mulai melambat.
(bbn)