Hal ini didasarkan pada hubungan timbal balik yang dituntut kepada tiap pejabat RT untuk memastikan pemenangan Owena-Liah di masing-masing wilayah.
“Kontrak politik demikian jelas merupakan kontrak untuk keberpihakan karena justru mengarahkan warga untuk berpihak dengan menggunakan struktur pengelola lingkungan masyarakat, in casu ketua-ketua RT,” ucap Saldi.
Hal ini semakin nampak pada janji alokasi dana kampung sebesar minimal Rp4-8 miliar per tahun; serta dana ketahanan keluarga Rp5-10 juta per dasawisma per tahun. Dengan syarat, para Ketua RT yang membuat Kontrak Politik mempengaruhi petinggi dan masyarakat kampung.
“Disadari atau tidak, Pasangan Calon Nomor Urut 3 telah menjadikan atau memosisikan para Ketua RT sebagai Tim Pemenangan yang bersangkutan,” kata Saldi.
MK juga menilai harus ada pemungutan suara ulang karena diskualifikasi Owena-Liah tak bisa langsung diterjemahkan sebagai kemenangan paslon lainnya atau yang memperoleh suara terbanyak kedua. Hal tersebut hanya bisa dilakukan jika pilkada diikuti dua paslon; sedangkan Pilkada Mahakam Ulu diikuti tiga paslon.
Pemungutan suara ulang juga harus dilakukan paling lambat tiga bulan usai putusan MK ini dibacakan.
Pada Pilkada Mahakam Ulu, Owena-Liah tercatat mendapat kemenangan usai meraih 9.930 atau 44,93% dari total 22.099 suara sah. Mereka unggul dari jagoan Golkar, PDIP, dan PKS atau paslon nomor urut 01, Yohanes Avun dan Yohanes Juan jenau dengan 3.850 suara. Selain itu, Paslon dari Gerindra atau nomor urut 02, Novita Bulan dan Artya Fathra Marthin yang meraih 8.319 suara.
(azr/frg)