Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Babak baru hasil pennyelidikan perusahaan rintisan atau startup berbasis agritech, eFishery, mencerminkankondisi yang jauh lebih buruk daripada yang mereka duga sebelumnya.

eFishery adalah anomali, pasalnya perusahaan akuakultur yang berhasil menjadi startup unicorn ini, banyak didukung oleh para investor kakap termasuk SoftBank Group Corp. dan Temasek Holdings Pte. Namun, dugaan penipuan sistematis atas laporan kinerja dan pendapatan keuangan perusahaan, yang melibatkan pendiri sekaligus CEO Gibran Huzaifah, menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor terkait keberlanjutan model bisnis perusahaan yang berbasis valuasi. 

Valuasi adalah proses untuk menentukan nilai suatu aset, perusahaan, atau bisnis. Valuasi dapat dilakukan untuk berbagai jenis aset, seperti saham, obligasi, properti, barang, dan layanan. 

Berkaca pada kasus eFishery, perhatian para investor startup justru kini bergeser meninggalkan konsep valuasi yang pada beberapa kasus terbukti secara sengaja dilebih-lebihkan. Tubagus Syailendra, CEO startup yang juga bergerak di bidang Agrikultur, Chickin, lanskap industri startup tidak lagi sama. 

Pada awalnya, pendiri sebuah startup menikmati fase honeymoon saat suku bunga global, terutama di Amerika Serikat, berada di titik rendah.  Namun, dengan meningkatnya biaya dana (cost of capital), validasi terhadap nilai uang menjadi lebih ketat, kemudian, startup yang tidak memiliki dasar bisnis kuat kini mulai menghadapi tekanan besar.

“Kita lihat, banyak startup nggak cuma di industri kita saja, agrikultur, tapi semua startup sudah melewati fase hepi-hepi ketika dulu better cost of rate sangat rendah di Amerika. Kini setelah semua meningkat bahwa value of money pada akhirnya telah tervalidasi di startup. Dan beruntung Chickin itu bukan company of value,” kata Tubagus dalam sebuah acara di Jakarta, dikutip Selasa (25/2/2025).

Ia melanjutkan bahwa tantangan besar bagi startup saat ini adalah memberikan pengembalian yang sehat kepada para investor. Banyak pihak yang berinvestasi di unicorn atau startup dengan valuasi besar, tetapi akhirnya kesulitan untuk keluar (exit). Alasannya, valuasi perusahaan terlalu tinggi dan tidak relevan dengan kondisi pasar.

Hal ini membuat startup kehilangan daya tarik di pasar modal, terutama bagi investor ritel. “Nah ini jadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Bagaimana kita bisa menciptakan ekosistem permodalan yg baik. sehingga semua orang bisa melihat kalau value yg di investasikan itu sesuai,” kata Tubagus.

Dengan demikian, ia menekankan pentingnya membangun narasi yang positif bagi ekosistem investasi di Indonesia. 

Guncang Kepercayaan Investor

eFishery ekspansi bisnis agritech di India. (@GibranHuzaifah/X).

Menurut Managing Director OCBC Ventura, Darryl Ratulangi, skandal semacam ini bisa menjadi “wake-up call”  bagi industri dan investor agar lebih cermat dalam menilai perusahaan rintisan sebelum berinvestasi. Dalam jangka pendek, investor diperkirakan akan lebih selektif dalam memilih startup di sektor akuakultur.

“Kalau di beberapa bulan atau satu tahun ke depan pasti investor akan lebih takut. Transaksi investasi akan lebih lama lah. Orang akan makan waktu lebih lama untuk mengenal dan mungkin untuk sementara waktu sektor-sektor yang lebih beresiko seperti aquatech atau agri atau P2P yang banyak kejadian pasti akan dihindari sementara waktu,” jelas Darryl ketika ditemui beberapa waktu lalu. 

Darryl turut menyoroti dampak yang dirasakan oleh para pendiri startup yang sebenarnya memiliki bisnis sehat di sektor tersebut. Menurutnya, kasus ini dapat membuat mereka kesulitan mendapatkan pendanaan.

“Sebenarnya kasihan banyak sebenarnya founder-founder yang real bisnisnya bagus, tapi ya mereka kena di sektor yang salah, jadi kena dampak,” ujarnya. Meski ada efek negatif terhadap persepsi investor global terhadap startup Indonesia, Darryl melihat ini sebagai kesempatan untuk mendorong transparansi dan tata kelola perusahaan yang lebih baik.

“Kalau ini nggak pernah kejadian, mungkin nggak pernah ada pertanyaan ini, media juga nggak pernah cover, ya kita mungkin melihat sisi positifnya aja, dari sini bisa dibawa kemana, dan harusnya generasi-generasi berikutnya akan menjadi generasi yang lebih baik.”

Martyn Terpilowski, investor sekaligus CEO Bhumi Varta Technology berkomentar, “sebagian besar valuasi startup ini hanya dibuat-buat, dan orang terakhir yang memegangnya akan merugi, entah itu VC [perusahaan investasi] berikutnya atau investor ritel di IPO.”

Martyn juga menyebut bahwa suku bunga rendah selama bertahun-tahun hanya memperparah situasi ini, sehingga memungkinkan startup untuk menutupi kelemahan fundamental mereka. Namun, pada akhirnya realitas mulai terkuak ketika suku bunga meningkat, mengakibatkan “bubble” startup mulai meledak.

“Tragisnya, perusahaan yang benar-benar memiliki bisnis nyata kesulitan mengumpulkan dana karena mereka tidak berbohong atau tidak memiliki koneksi ke alumni Ivy League di venture capital,” kritik Martyn.

Perhitungan cuan 10 sen

Para investor kemungkinan besar hanya akan mendapatkan kurang dari 10 sen untuk setiap dolar yang mereka investasikan, demikian menurut dokumen-dokumen yang dilihat oleh Bloomberg News.

Bisnis fish feeder eFishery jumlahnya hanya 6.300, dimana 600 yang mengirimkan data ke dalam eFeeder-mesin pakan otomatis, digerakkan oleh AI, sensor melalui aplikasi ponsel pintar.

Layanan pembiayaan melalui kerja sama dengan P2P Lender atau perusahaan keuangan untuk membayar biaya pakan dan operasional mereka, juga berpotensi besar gagal bayar, dan bahwa eFishery menanggung semua kerugian ketika para petani gagal membayar pinjaman mereka.

“Secara teori, hasil panen atau uang tunai yang dikumpulkan dari pembudidaya harus dibayarkan kembali kepada pemberi pinjaman,” kata presentasi tersebut. “Namun dalam praktiknya, eFishery menghadapi tantangan yang signifikan dalam hal penagihan kepada peminjam.”

Untuk diketahui, hasil penyelidikan internal mengungkap kemungkinan praktik manipulasi keuangan di eFishery. Laporan awal menunjukkan bahwa perusahaan tersebut menggelembungkan pendapatan dan laba sejak awal berdiri, dengan mencatatkan kerugian total sebesar US$152 juta (sekitar Rp2,47 triliun).

Lebih lanjut, laporan setebal 52 halaman dari FTI Consulting mengungkap bahwa dalam sembilan bulan pertama 2024, eFishery melaporkan keuntungan sebesar US$16 juta (sekitar Rp260 miliar), padahal sebenarnya perusahaan mengalami kerugian US$35,4 juta (sekitar Rp576 miliar).

Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa manajemen eFishery menggelembungkan pendapatan hingga hampir US$600 juta dalam periode yang sama. Dengan manipulasi tersebut, lebih dari 75% angka yang dilaporkan diduga palsu.

Saksikan video Bloomberg Technoz Podcast - TechnoZone yang bertajuk "Bongkar Skandal eFishery & Startup RI, Siapa 'Maling'?" di Bloombergtechnoz.com bersama Host Pandu Sastrowardoyo dan Jean-Daniel Gauthier, bersama narasumber Frank Hutapea, Business Law Expert, serta Martyn Terpilowski, CEO Bhumi Varta Technology.


(prc/wep)

No more pages