Harli menuturkan ketika kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan dalam penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi lebih tinggi atau mahal.
Praktik ini dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kejagung resmi menetapkan tujuh tersangka. Empat di antaranya berasal dari jajaran subholding Pertamina, yakni; Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS); Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin (SDS); Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi (YF); dan VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono (AP).
Sementara itu, tiga lainnya dari pihak broker yakni Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR); Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati (DW); dan Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede (GRJ).
Harli memaparkan dalam kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga diperoleh fakta adanya permufakatan jahat.
Praktik tersebut dilakukan antara penyelenggara negara atau jajaran direksi Pertamina (tersangka SDS, AP, RS, dan YF) bersama broker (tersangka MK; DW; dan GRJ) sebelum tender dilaksanakan dengan kesepakatan harga yang sudah diatur dengan tujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara.
“Permufakatan tersebut diwujudkan dengan adanya tindakan pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi [spot] yang tidak memenuhi persyaratan,” jelas Harli.
Harli mengungkapkan hal itu dilakukan dengan modus tersangka RS, SDS, dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.

Adapun, tersangka DM dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP untuk dapat memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah dari tersangka RS untuk impor produk kilang.
Harli menjelaskan seharusnya pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan dari dalam negeri sementara Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.
Hal itu diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 42/2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Kebutuhan Dalam Negeri.
Akan tetapi, berdasarkan fakta penyidikan, tersangka RS, tersangka SDS, dan tersangka AP ‘kongkalikong’ dalam rapat optimasi hilir (OH) yang dijadikan dasar untuk menurunkan kesiapan produksi kilang.
Akibatnya, produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya hingga akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dari impor.
Dalam dugaan korupsi tersebut, produksi kilang sengaja diturunkan kemudian produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS sengaja ditolak dengan dalih produksi minyak mentah KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masih dalam rentan harga perkiraan sendiri (HPS).
Harli menyebut produk minyak mentah KKKS ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dengan kualitas kilang. Akan tetapi, fakta yang ditemukan minyak mentah bagian negara masih sesuai kualitas kilang, dapat diolah dan dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya.
“Saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan berbagai alasan, maka menjadi dasar minyak mentah [bagian negara] dilakukan penjualan keluar negeri [ekspor],” kata Harili.
Dampak adanya perbuatan melawan hukum tersebut mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun yang bersumber dari komponen sebagai berikut:
- Kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun.
- Kerugian impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp2,7 triliun.
- Kerugian impor BBM melalui broker sekitar Rp9 triliun.
- Kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun.
- Kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.
Harli mengatakan para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
(mfd/wdh)