Seperti yang diwartakan Bloomberg News, Pemerintah AS juga meminta Meksiko untuk memberlakukan tarif terhadap impor dari China. Trump menyatakan bahwa tarif impor terhadap kedua negara tersebut akan diberlakukan mulai bulan depan.
“Tarif ini akan tetap berjalan sesuai waktu dan jadwalnya,” kata Trump.
Dalam pernyataannya, Trump juga membahas rencananya untuk menerapkan tarif tersebut secara lebih luas. Saat ini, Departemen Perdagangan AS tengah menghitung besaran tarif yang akan dikenakan kepada negara lain, termasuk hambatan non-tarif terhadap impor AS.
Sejak memulai masa jabatan keduanya, Trump bergerak cepat dalam menerapkan kebijakan perdagangan agresif.
Dengan berbagai kebijakan baru ini, langkah Pemerintahan Trump dalam periode keduanya semakin agresif terhadap Beijing dan dapat memperumit upaya negosiasi untuk mengurangi surplus perdagangan China terhadap AS.
Ditambah lagi, ketegangan geopolitik juga meningkat di kawasan Timur Tengah. Pemerintah AS memberlakukan pembatasan baru terhadap pialang, kapal, dan individu yang dituduh terlibat dalam pengiriman ilegal minyak mentah Iran.
Tim Research Phillip Sekuritas dalam risetnya memaparkan, sejumlah rilis yang memperlihatkan ekonomi AS mungkin akan melambat dan inflasi sulit turun karena konsumen dan dunia usaha khawatir atas kebijakan Presiden AS Donald Trump.
Data dari S&P Global menunjukkan bahwa aktivitas usaha di AS hampir terhenti, dengan pertumbuhan yang melambat ke level terendah dalam 17 bulan terakhir, tertekan oleh kontraksi tak terduga pada aktivitas di sektor jasa AS.

“Data lain memperlihatkan bahwa konsumen AS bersiap-siap menghadapi inflasi yang lebih tinggi karena potensi tarif yang dapat menaikkan harga untuk semua jenis impor,” mengutip riset harian Tim Research Phillip Sekuritas.
Kekhawatiran dari implementasi kebijakan tarif oleh Trump kembali meningkat seiring dengan perkiraan beberapa rilis data ekonomi yang lebih rendah pada Selasa. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk ketidakpastian ekonomi, inflasi yang masih menjadi perhatian, serta dinamika pasar tenaga kerja yang dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat dalam melakukan konsumsi.
Dari dalam negeri, Analis Phintraco Sekuritas menyebut, investor masih mencerna peresmian Danantara pada Senin kemarin. Danantara dapat memberikan dampak yang positif seperti, BUMN dapat lebih fokus pada ekspansi dan efisiensi operasional. Selain itu dengan adanya konsolidasi dapat meningkatkan daya saing Indonesia di global.
“Di sisi lain, investor masih menilai terkait independensi dan transparansi pada Danantara ini,” mengutip riset Phintraco. Meski begitu, Indef menyatakan Danantara masih berisiko menjadi alat politik berkat posisi kunci di lembaga investasi negara ini diisi oleh pejabat pemerintahan. “Ini menunjukkan bahwa operator juga merangkap sebagai regulator,” kata Andry Satrio Nugroho, Head of Center of Industry, Trade, and Investment di Indef.
Dengan berbagai sentimen itu, secara teknikal IHSG gagal breakout resisten dinamis MA-5 yang berada pada kisaran level 6.800. “Sehingga, IHSG masih rawan lanjutkan pelemahan uji support psikologis 6.700 pada perdagangan Selasa hari ini.”
Phintraco memberikan rangkuman rekomendasi saham hari ini meliputi SIDO, UNTR, INDF, LSIP dan PGEO.
Sementara itu, Analis BRI Danareksa Sekuritas memaparkan, IHSG kembali melemah setelah sebelumnya sempat rebound.
“Berpotensi kembali melanjutkan Bearish trend ke area support 6.679 dan 6.500,” mengutip paparan BRI Danareksa Sekuritas dalam risetnya pada Selasa (25/2/2025).
Bersamaan dengan risetnya, BRI Danareksa memberikan rekomendasi saham hari ini, LPPF, dan MPPA.
Morgan Stanley Pangkas Peringkat Saham RI Jadi 'Underweight'
Morgan Stanley menurunkan peringkat saham MSCI Indonesia dari 'equal weight' menjadi 'underweight'. Mengacu Bloomberg, penurunan rekomendasi itu dilatarbelakangi oleh penilaian bahwa tingkat return on equity saham-saham di bursa domestik menunjukkan momentum penurunan terutama karena memburuknya lingkungan pertumbuhan dalam negeri.
Indikator ekonomi Indonesia terkini menunjukkan kurangnya momentum pertumbuhan dan alasan utamanya adalah siklus belanja modal di Indonesia yang 'jauh lebih lemah', menurut strategis Morgan Stanley Jonathan Garner, Selasa (25/2/2025).
"Investasi terhadap PDB bergerak sideways sepanjang tahun 2025, berkisar 29% PDB dibandingkan rata-rata 32% pada periode sebelum pandemi Covid-19. Hal itu kemungkinan berarti berkurangnya penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan pendapatan," jelas Garner.
Morgan Stanley memperingatkan agar investor tetap berhati-hati terhadap kemungkinan pembalikan dalam jangka pendek dan secara umum lebih memilih eksposur di pasar lain di ASEAN.
(fad)