Selain menghadapi ketidakpastian global, Merz juga harus menangani masalah domestik. Ia harus memperkuat kembali militer Jerman yang melemah, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta mengendalikan imigrasi guna meredam pergerakan partai sayap kanan Alternatif untuk Jerman (AfD), yang mencetak hasil terbaiknya dalam pemilu kali ini.
Sebagai langkah awal, Merz berencana merangkul Partai Sosial Demokrat (SPD) yang kalah dalam pemilu untuk membentuk "Koalisi Besar" dengan total 328 dari 630 kursi di Bundestag.
Pada usia 69 tahun, Merz untuk pertama kalinya akan menduduki jabatan pemerintahan setelah lama berkarier sebagai pengacara dan eksekutif perusahaan. Pria bertubuh tinggi asal North-Rhine Westphalia ini lebih dikenal karena tempramennya yang meledak-ledak daripada keterampilan diplomatik. Namun, ia kini harus membangun aliansi di Berlin dan Brussel untuk menghadapi dinamika politik Eropa.
“Jerman terlalu kecil untuk memimpin seluruh Eropa, tetapi terlalu besar untuk menjadi negara Eropa biasa. Itulah tantangan yang akan dihadapi Merz,” ujar Guntram Wolff, peneliti senior di think tank Bruegel, kepada Bloomberg TV. “Ia harus menemukan koalisi yang tepat. Ia harus bekerja dengan sekutu-sekutu utama Eropa dan lembaga-lembaga Eropa. Dan saya pikir ia menyadari hal itu.”
Sebagai politisi yang berkarier lebih dari 25 tahun, Merz memiliki pengalaman dalam parlemen Eropa. Namun, latar belakang hukumnya kemungkinan lebih berguna dalam menghadapi Washington, terutama di bawah pemerintahan Trump.
Hubungan dengan Trump akan menjadi salah satu faktor penentu dalam kepemimpinan Merz. Saat malam pemilu, ia mengejutkan publik dengan pernyataannya bahwa Eropa harus lebih mandiri dari AS.
“Saya tidak pernah menyangka harus berpikir, apalagi mengatakan sesuatu seperti ini,” ungkap Merz pada Senin. “Namun, sinyal dari AS menunjukkan bahwa minat mereka terhadap Eropa semakin menurun, begitu juga dengan keinginan mereka untuk terlibat di benua ini.”
Sementara itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer sudah lebih dulu terbang ke Washington untuk memastikan AS tetap mendukung Ukraina dan Eropa. Merz kemungkinan akan menyusul segera setelah resmi menjabat.
Namun, perjalanannya ke AS berpotensi penuh tantangan. Wakil Presiden AS JD Vance dan Elon Musk, sekutu dekat Trump, diketahui mendukung AfD dalam pemilu Jerman.
Meski begitu, Merz diyakini memiliki peluang lebih besar untuk menjalin hubungan dengan Trump dibandingkan kanselir sebelumnya, Olaf Scholz, yang secara terbuka menentang kepemimpinan Trump.
Berbeda dengan Scholz, Merz mengambil sikap lebih tegas terhadap China. Ia telah memperingatkan para pebisnis Jerman agar tidak terlalu bergantung pada investasi di Negeri Tirai Bambu. Selain itu, ia juga memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan mantan Kanselir Angela Merkel, yang sering bersitegang dengan Trump selama masa jabatannya.
Pada Minggu malam, Trump memberi selamat kepada Merz melalui media sosial.
“Rakyat Jerman sudah muak dengan kebijakan tak masuk akal, terutama dalam hal energi dan imigrasi,” tulis Trump. “Ini adalah hari besar bagi Jerman, dan juga bagi Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald J. Trump.”
Namun, ucapan selamat ini tidak menjamin perubahan kebijakan Trump terhadap Jerman, terutama dalam hal pertahanan dan tarif perdagangan. AS masih mempertimbangkan pengurangan pasukan di Eropa, sementara surplus perdagangan Jerman dengan AS terus meningkat—sesuatu yang selama ini menjadi sumber ketegangan.
Merz sendiri tampaknya menyadari tantangan ini. Sebelumnya, ia sempat menyebut Trump sebagai sosok yang “dapat diprediksi” dan optimistis bisa mencapai kesepakatan dengannya. Namun, belakangan ia mengkritik keras Trump karena menyebut Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy sebagai “diktator.”
Salah satu tantangan terbesar bagi Merz adalah memperkuat pertahanan Jerman. Dalam kampanye, ia menegaskan bahwa Eropa harus menerima kenyataan bahwa Trump tidak sepenuhnya berkomitmen pada kewajiban NATO untuk melindungi sekutunya jika Rusia menyerang.
Dengan kekuatan militer Eropa yang terus menurun dan anggaran pertahanan yang terbatas, Merz menghadapi tekanan besar untuk menggunakan utang Jerman guna mendanai peningkatan kapasitas pertahanan di Eropa.
Karena itu, ia mulai melunak terhadap aturan ketat Jerman soal utang dan bahkan membuka peluang untuk mempertimbangkan pinjaman bersama Uni Eropa.
“Kami terbuka untuk membahas sumber pendanaan,” kata Merz baru-baru ini.
Untuk mempercepat pendanaan pertahanan, ia juga bisa menerapkan keadaan darurat fiskal guna melewati batas utang negara dan segera memesan persenjataan bagi Ukraina dan Eropa.
Situasi keamanan yang mendesak membuat spekulasi bahwa negosiasi koalisi kali ini bisa berjalan lebih cepat dibanding biasanya. Merz menargetkan pembentukan pemerintahan baru sebelum Paskah, sementara Scholz sebagai kanselir sementara bisa menerapkan langkah-langkah darurat dengan dukungan Merz sebelum peralihan kekuasaan resmi terjadi.
“Eropa menunggu Jerman untuk kembali mengambil peran kepemimpinan yang lebih kuat,” ujar Merz dalam debat televisi bersama rival-rivalnya pada malam pemilu. “Kami harus menunjukkan bahwa kami mampu bertindak.”
(bbn)