Bloomberg Technoz, Jakarta - Dekan Fakultas Hukum Universitas Mitra Bangsa Kamilov Sagala, menegaskan bahwa proses lelang frekuensi harus dilakukan secara terbuka dan transparan.
Dalam pemaparannya, Kamilov menyoroti bahwa frekuensi bukanlah sekadar sumber daya biasa, melainkan aset strategis nasional yang harus dikelola dengan penuh kehati-hatian.
Dirinya menyoroti bahwa lelang frekuensi harus memastikan tidak adanya kepentingan tersembunyi yang dapat merugikan industri telekomunikasi dan masyarakat luas.
"Jadi memang di industri ini agak sensitif ya. Sensitif dengan mulai dari infrastrukturnya. Juga service-nya, juga yang akan disasar levelnya apa, kesediaannya apa, dan yang lebih parah lagi kita dikepemilikan infrastrukturnya. Itu [kita] mix sekali. Ada yang hanya punya BTS [Base Transceiver Station]. Ada yang hanya punya FO [Fiber Optik]," kata Kamilov di Jakarta, Senin (24/2/2025).
"Ada yang punya layanan tok [saja], ada macam-macam. Regulator kalau tidak siap melihat komposisi model seperti ini, itu terjadi hal-hal yang betulannya sangat dasar sekali," jelasnya.
Pasalnya menurut Kamilov dalam praktiknya, muncul berbagai kendala dalam penyelenggaraan lelang frekuensi , baik dari segi regulasi maupun implementasi teknis di lapangan. Ia menegaskan, prinsip keadilan dan transparansi harus dijunjung tinggi dalam proses seleksi peserta lelang.
Kamilov juga menyoroti pentingnya pengawasan independen dalam proses lelang, termasuk keterlibatan media dan publik sebagai bentuk kontrol sosial.
"Ini keterbukaan publik terhadap adanya suatu regulasi yang akan diturunkan ke masyarakat. Jadi masyarakat harus tahu perspektif. Hukum yang dipaparkan, peraturan yang diserahkan dari kawan-kawan Komdigi [Kementerian Komunikasi dan Digital] itu diketahui lah. Akhirnya dipahami atau soal pemahaman itu mungkin agak lama ya. Tapi tahu sudah bagus. Tapi kesempatan orang untuk mengkritisi yang terpenting. Itu bagian dari pengawasan," jelasnya.
Mengacu pada pengalaman lelang 3G dan 4G di masa lalu, Kamilov mengungkapkan bahwa transparansi dalam proses tersebut masih menjadi tantangan.
Ia mengingatkan bahwa pada masa lalu, terdapat beberapa kasus di mana pemenang lelang tidak mampu membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) spektrum frekuensi, sehingga akhirnya spektrum yang telah dilelang harus dikembalikan ke negara.
Lebih lanjut, Kamilov menegaskan bahwa lelang frekuensi tidak boleh hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek, melainkan wajib mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi industri dan masyarakat. Ia mengingatkan bahwa spektrum frekuensi adalah sumber daya publik yang harus dikelola secara bijak.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Komunikasi dan Digital atau Kemenkomdigi memilih meningkatkan kecepatan internet dalam negeri untuk fixed broadband dengan melakukan lelang frekuensi 1,4 GHz pada kuartal pertama 2025.
Melalui spektrum tersebut, Komdigi akan mengalokasikannya untuk keperluan Broadband Wireless Access (BWA).
Adapun layanan BWA ini diberikan untuk penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis packet-switched menggunakan teknologi International Mobile Telecommunications (IMT).
Oleh karenanya, spektrum frekuensi menjadi faktor krusial dalam peningkatan layanan telekomunikasi, terutama untuk memenuhi target RPJMN 2025-2029 dan Visi Indonesia Digital 2045.
Sebagai catatan, frekuensi yang akan dilelang oleh Komdigi mulai dari spektrum 1,4 GHz dengan lebar 80 MHz, yang disebut untuk kebutuhan internet murah. Frekuensi tersebut ditargetkan menjangkau layanan internet rumah tangga hingga sektor pendidikan.
Adapun target kecepatan layanan internet bagi penyedia BWA yakni 100 Mbps, dengan kisaran harga antara Rp100.000 hingga Rp150.000.
Frekuensi 1,4 GHz untuk FWA 5G

Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Sigit Puspito Wigati Jarot, menyoroti potensi 5G FWA pada spektrum 1,4 GHz sebagai solusi broadband.
FWA 5G harus dipahami secara berbeda dengan jaringan mobile dan fiber optik. Pasalnya FWA berada di antara keduanya. Oleh karena itu, kajian mengenai implementasi dan kebijakannya harus dilakukan secara mendalam.
FWA adalah teknologi yang menyediakan koneksi internet nirkabel untuk rumah dan bisnis. FWA menggunakan perangkat nirkabel yang berfungsi seperti menara seluler mini.
Mengacu kepada data International Telecommunication Union (ITU) tahun 2020, Sigit memaparkan bahwa penetrasi fixed broadband di Indonesia masih di bawah 5%. Dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, Indonesia hanya lebih baik dari Laos, Kamboja, dan Timor Leste.
Kondisi penetrasi fixed broadband ini menunjukkan bahwa Indonesia tertinggal jauh di bawah rata-rata Asia Tenggara dan Asia secara keseluruhan, sehingga diperlukan solusi cepat untuk meningkatkan akses broadband.
Untuk itu, Sigit melihat FWA dari dua aspek utama. Pertama, keterjangkauan harga (affordability). Kedua, kecepatan dalam penyebaran infrastruktur. Dibandingkan fixed broadband berbasis fiber optik (FTTH), FWA menggunakan perangkat Customer Premises Equipment (CPE) yang menyerupai router, sehingga memungkinkan distribusi jaringan dengan lebih cepat dan efisien.
"Maka ketika ini didesainnya betul, desain kebijakannya betul, desain network-nya betul, kemungkinan tidak akan mengganggu pasarnya seluler dan dia justru akan mengkondisikan masuknya jaringan FO [Fiber Optik]," kata Sigit.
Namun, apabila mekanisme pasar dibiarkan berjalan tanpa regulasi yang jelas, maka terdapat potensi gangguan terhadap pasar seluler maupun fiber optik.
"Nah apalagi di sini sudah jelas dalam beberapa kajian yang cukup lama ya. Kalau kita itu konteksnya kan 5G FTA mid-band, mid-band itu yang warna hitam ini ya. Jadi ada case rural, ada case sub-urban, ada case urban. tapi yang 5G mid-band itu 1,4 Ghz itu tetap saja dia nanti penghematan biayanya itu memang cukup signifikan."
"Kalau di rural itu sampai 80%, kalau misalnya di urban 45%, jadi lebih cepat dan lebih murah. Makanya itu pilihan betul dan harus didukung," terangnya.
Dari sisi keuntungan bisnis, potensi pendapatan rata-rata per pengguna (ARPU) FWA diperkirakan lebih tinggi dibandingkan mobile broadband. Namun, jika tidak ada ketentuan teknis yang mengharuskan kecepatan minimum 100 Mbps, ada risiko pemain di industri lebih memilih untuk tetap menggunakan jaringan 4G, yang masih dapat memenuhi kebutuhan pasar meskipun tidak mencapai 100 Mbps.
Oleh karena itu, regulasi FWA sebagai fixed broadband harus dirancang dengan cermat dan tidak disamakan dengan regulasi seluler maupun fiber optik.
"Maka teman-teman di Komdigi harus cermat disini, ketika rekan-rekan fiber khawatir akan menggerus pasar dia. Itu adalah kehawatiran yang valid gitu. Maka secara kebijakan dan regulasi harus jelas gitu," terang dia.
Pada kesempatan yang sama, Koordinator Kebijakan Penyelengaraan Infrastruktur Digital Komdigi Benny Elian, mengungkapkan, salah satu permasalahan utama fixed broadband di Indonesia adalah harga yang masih relatif mahal.
Paket internet dengan kecepatan hingga 100 Mbps bisa mencapai Rp400.000-500.000 per bulan, sedangkan paket 30 Mbps berkisar Rp250.000 per bulan. Oleh karena itu, tujuan utama spektrum 1,4 GHz adalah meningkatkan penetrasi fixed broadband dengan harga yang lebih terjangkau.
"Jadi, bagaimana menyasar masyarakat yang kemampuan ekonominya terbatas, yaitu dengan bayarkan Rp100-150 ribu per bulan," kata Benny.
Di samping untuk meningkatkan penetrasi dan keterjangkauan, upaya ini juga bertujuan untuk memperluas jaringan fiber optik. Implementasi FWA 5G dengan spektrum 1,4 GHz akan dikoneksikan langsung ke jaringan fiber optik, memungkinkan pemancar fixed wireless menjangkau rumah-rumah yang sebelumnya tidak terjangkau oleh fiber.
Teknologi FWA 5G pada spektrum 1,4 GHz telah masuk dalam regulasi sejak 2022, menggunakan standar IMT, yang sama dengan teknologi pendukung seluler. Proses seleksi spektrum ini mengikuti mekanisme yang sudah diatur dalam peraturan pemerintah dan peraturan menteri.
Hingga saat ini, lebih dari 10 penyelenggara operator seluler (opsel) hingga FO telah menyatakan minatnya, dengan setidaknya tujuh di antaranya siap berpartisipasi dalam mekanisme seleksi.
-Dengan asistensi Whery Enggo Prayogi.
(prc/spt)