Sepanjang April 2023, rata-rata harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) adalah US$ 191,81/ton. Lebih rendah 37,44% dibandingkan April tahun lalu.
Sedangkan rata-rata harga minyak sawit mentah (CPO) di Bursa Malaysia sepanjang April 2023 adalah MYR 3.728,61/ton. Anjlok 40,33% dibandingkan rerata April 2022.
Windfall Profit Pudar
Tahun lalu, Indonesia menikmati lonjakan harga komoditas akibat tingginya permintaan usai meredanya pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina. Tahun ini, windfall profit tersebut memudar, harga komoditas turun drastis.
Padahal komoditas masih menjadi andalan ekspor Indonesia. Pada Januari-April 2023, nilai ekspor bahan bakar mineral (yang didominasi batu bara) mencapai US$ 16,79 miliar atau 20,71% dari total ekspor non-migas.
Sedangkan nilai ekspor lemak dan minyak hewan/nabati (yang didominasi CPO) pada 4 bulan pertama 2023 adalah US$ 8,79 miliar. Jumlah itu setara dengan 10,84% dari total ekspor non-migas.
“Secara umum, perdagangan internasional tahun ini tidak akan semulus tahun lalu,” ujar Tirta Citradi, Ekonom MNC Sekuritas.
Reopening di China usai pencabutan kebijakan Zero Covid, lanjut Tirta, juga belum terlalu terasa. Padahal China adalah negara minta dagang terbesar Indonesia.
Sejumlah data ekonomi China menunjukkan permintaan masih terbatas. Misalnya terlihat dari data inflasi. Pada April 2023, inflasi China tercatat hanya 0,1% yoy. Ini adalah yang terendah sejak Januari 2021.
Kemudian inflasi inti (yang menggambarkan daya beli) juga masih landai. Pada April 2023, inflasi inti China ada di 0,7% yoy, sama seperti bulan sebelumnya.
Oleh karena itu, sepertinya sulit bagi Indonesia untuk menyamai pencapaian pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang mencapai 5,31%. Pasalnya, tahun ini ekspor sulit diandalkan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi.
Pada kuartal I-2023, ekspor masih bisa tumbuh 11,68% yoy. Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, menilai dunia usaha menggeber pengiriman (frontloading) pada awal tahun sehingga kemudian akan ada koreksi.
“Frontloading pada kuartal I akan menyebabkan koreksi tajam pada kuartal-kuartal ke depan, sehingga menjadi beban bagi pertumbuhan ekonomi. Kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi sepanjang 2023 sebesar 4,8%,” sebut Satria.
Impor Anjlok
Tidak hanya ekspor, data impor juga membunyikan alarm. Pada April 2023, impor mengalami kontraksi hingga 22,32% yoy. Jauh lebih dalam ketimbang median proyeksi pertumbuhan impor berdasarkan konsensus Bloomberg yaitu -6,75% yoy. Realisasi ini juga menjadi yang terburuk sejak Oktober 2020.
Impor seluruh golongan barang, baik itu barang konsumsi, bahan baku/penolong, dan barang modal turun. Pada April 2023, impor barang konsumsi, bahan baku/penolong, dan barang modal terkontraksi masing-masing 17,68% yoy, 25,33% yoy, dan 6,95% yoy.
Data ini menggambarkan aktivitas industri dalam negeri sedang menghadapi tantangan. Sebab, mayoritas impor adalah bahan baku/penolong (dengan pangsa 74,53% dari total impor selama Januari-April 2023) yang digunakan untuk keperluan produksi dalam negeri.
Tirta menilai dunia usaha masih konservatif sehingga belanja bahan baku dan barang modal menurun. “Penurunan impor, terutama bahan baku dan barang modal, kemudian berakibat pada kinerja ekspor,” tuturnya.
Faisal Rachman, Ekonom Bank Mandiri, menilai penurunan harga komoditas dan iklim suku bunga tinggi juga membuat minat investasi mengendur. Ini kemudian tercermin dari data minimnya impor bahan baku/penolong dan barang modal.
“Penurunan harga komoditas dan risiko perlambatan ekonomi global mengurangi aktivitas investasi. Penurunan aktivitas ekspor dan impor menjadi beban bagi prospek pertumbuhan ekonomi,” sebutnya.
Bank Mandiri memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 5,04% tahun ini.
(aji/dba)