Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Berbagai kalangan pelaku industri dan pakar pertambangan menilai kabar krisis produksi di smelter PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) rawan berpengaruh terhadap minat investasi China terhadap proyek hilirisasi nikel di Indonesia, meski tidak signifikan.

PT GNI sendiri terafiliasi dengan grup konglomerat China, Jiangsu Delong Nickel Industry Co, dan memiliki smelter dengan nilai investasi sekitar US$3 miliar yang beroperasi Morowali Utara, Sulawesi Tengah.

Direktur Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widayanto tidak menampik Gunbuster merupakan salah satu pemain besar di industri smelter nikel Indonesia, selain kompetitornya dari grup Tsingshan Holding Group Co Ltd.

Jika sampai perusahaan itu tutup akibat masalah keuangan yang diderita induknya, menurutnya, persepsi dan keputusan investasi China lainnya di sektor nikel di Indonesia bisa terdampak. 

“Namun, dampaknya mungkin tidak akan langsung mengguncang semua investasi China di nikel ya, mengingat sektor ini sudah sangat besar dan beragam,” kata Djoko saat dihubungi, dikutip Senin (24/2/2025). 

Smelter nikel milik PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) di Morowali Utara./dok. GNI

Bagaimanapun, mengantisipasi risiko tidak langsung tersebut, Djoko memberi setidaknya empat catatan yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan kabar gangguan produksi dan ancaman penghentian opersional smelter GNI.

Empat Catatan

Pertama, Indonesia perlu segera melakukan diversifikasi investasi nikel selain dari China. Selain Jiangsu Delong, perusahaan China lain yang tercatat menguasai investasi besar di industri nikel Indonesia adalah Tsingshan Holding Group Co Ltd.

“Karena Tsingshan memiliki kapasitas produksi yang sangat besar dan sudah lama beroperasi, mereka mungkin akan tetap fokus pada ekspansi dan pengembangan meski ada masalah pada beberapa pemain [China] lain seperti GNI,” kata Djoko.

Kedua, pemerintah perlu waspada terhadap kepentingan strategis China di sektor nikel. China sangat bergantung pada pasokan nikel Indonesia untuk kebutuhan industri baterai mobil listriknya dan pembuatan baja nirkarat.

Hal ini, menurut Djoko, menjadikan sektor nikel Indonesia sebagai bagian penting dari rencana industri China, yang mungkin akan mendorong mereka untuk tetap berinvestasi meski ada masalah dengan beberapa perusahaan.

Ketiga, tidak semua perusahaan nikel China di Indonesia berada dalam kondisi yang sama. Beberapa mungkin sudah lebih mapan dan stabil secara finansial, sedangkan yang lain mungkin lebih rentan terhadap masalah keuangan atau operasional. 

Djoko mencontohkan Tsingshan lebih terdiversifikasi dan memiliki kontrol yang lebih kuat atas rantai pasok mereka dibandingkan dengan Jiangsu Delong.

Keempat, Djoko menilai Pemerintah Indonesia sangat mendukung sektor nikel, sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan nilai tambah industri pertambangan dan mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah.

Hal ini, lanjutnya, bisa jadi faktor yang menjaga stabilitas investasi di industri hilir nikel Tanah Air meskipun ada masalah pada perusahaan-perusahaan tertentu.

“Meskipun masalah di Gunbuster dan Jiangsu Delong bisa menimbulkan kekhawatiran, itu mungkin tidak langsung membuat China menarik investasi besar mereka dari sektor nikel Indonesia secara keseluruhan,” tegasnya. 

“Akan tetapi, tentu saja, itu bisa menjadi sinyal bagi investor untuk lebih berhati-hati dalam memilih proyek yang mereka dukung pada masa depan.”

Konstruksi proyek nikel PT Gunbuster Nickel Industry./dok. GNI

Pengaruhi Hilirisasi

Senada dengan Djoko, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menilai krisis yang dihadapi smelter PT GNI sedikit banyak pasti akan memengaruhi sentimen investasi China terhadap proyek hilirisasi nikel di Indonesia, meski imbasnya tidak akan signifikan. 

“Terhadap program hilirisasi pemerintah juga akan berpengaruh karena eksistensi Gunbuster cukup besar dalam industri smelter,” ujarnya.

Dihubungi secara terpisah, Peneliti Senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Deni Friawan pun berpandangan selanggam.

Meski risiko penutupan smelter PT GNI bisa memberi dampak negatif terhadap investasi China di Indonesia, tetapi Deni berpandapangan dampaknya tidak akan signifikan dalam memengaruhi minat atau hubungan investasi Negeri Panda di Tanah Air.

“Karena investasi China di Indonesia itu sangat banyak dan beragam, tidak sekadar smelter saja,” tuturnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Haykal Hubeis meyakini masalah yang terjadi di GNI tidak akan berdampak pada potensi investasi lainnya di sektor nikel dari China.

Isu gangguan produksi, terangnya, tengah dihadapi oleh berbagai sektor industri, tidak hanya nikel, di hampir semua negara. Dia memandang kejatuhan Jiangsu Delong yang berimbas pada gangguan operasional smelter GNI adalah risiko bisnis yang wajar.

“Kita melihatnya itu sesuatu yang masih rata-rata normal, karena memang ada sesuatu yang mungkin mereka berusaha mengatasinya, maka pengambilan keputusannya adalah seperti itu. Saya pikir ini bisa terjadi di siapa saja, di negara mana saja,” kata Haykal.

Menurut sumber Bloomberg, Gunbuster—yang mampu memproduksi 1,8 juta ton bijih kasar nikel per tahun — telah menutup semua kecuali beberapa dari lebih dari 20 jalur produksinya sejak awal tahun ini.

Gunbuster belakangan ini dikabarkan telah menunda pembayaran kepada pemasok lokal dan tidak dapat memperoleh bijih nikel, menurut orang-orang yang mengetahui situasi tersebut.

Smelter GNI tersebut kemungkinan akan segera menghentikan produksi jika situasi terus berlanjut, kata orang-orang tersebut, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena masalah tersebut sensitif. Gunbuster tidak membalas permintaan tanggapan dari Bloomberg.

-- Dengan asistensi Pramesti Regita Cindy dan Mis Fransiska Dewi

(wdh)

No more pages