Akan tetapi, ekspor TPT secara nilai hanya tergerus 6,5% yoy menjadi US$4,3 miliar pada 2022. Realisasi tersebut membaik dari capaian senilai US$3,6 miliar pada 2020 atau periode awal pandemi Covid-19.
Lain sisi, menurut catatan Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Jawa Barat (PPTPJB), jumlah pekerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor TPT mencapai sekitar 64.000 orang dari 124 perusahaan per kuartal terakhir tahun lalu.
Dalam kaitan itu, Ristadi mengatakan gejala pemulihan ekspor TPT tidak berbanding lurus dengan kondisi riil kinerja sektor tersebut.
“Nilai barang ekspor ini belum tentu menyebabkan [serapan] tenaga kerjanya meningkat, karena bisa jadi yang diekspor itu adalah stok barang yang sudah diproduksi dari 2020—2022 yang menumpuk karena tidak laku,” jelasnya.
Berkaca dari Sritex
Dia memberi gambaran, parameter riil kinerja industri TPT terefleksi dalam kinerja raksasa pertekstilan seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk. atau Sritex Group (SRIL). Perusahaan tersebut membukukan kerugian US$396,56 juta atau nyaris Rp6 triliun pada 2022.
Dari sisi penjualan, mengutip laporan keuangan perusahaan, SRIL hanya merealisasikan US$524,52 juta pada tahun lalu, atau anjlok 38% dari tahun sebelumnya yang senilai US$847,52 juta.
“Anggota kami di Sritex yang dirumahkan bahkan mencapai puluhan ribu orang, sampai sekarang. Angka pastinya naik turun, tetapi masih ada yang dipanggil [dipekerjakan] lagi, ada yang di-PHK,” ujar Ristadi.
Lebih lanjut, dia menjelaskan data lain yang memperkuat masih berlanjutnya tren PHK secara masif di industri TPT adalah klaim jaminan hari tua (JHT) di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
“Menurut informasi BPJS TK, klaimnya hampir menembus 1 juta orang selama 2022. Mayoritas peserta mengambil JHT tidak lama setelah di-PHK karena uangnya digunakan untuk modal dan menyambung biaya kebutuhan ekonomi,” jelasnya.
Penyebabnya, lanjut Ristadi, banyak korban PHK industri TPT yang tidak mendapatkan pesangon sama sekali. “Maka uang JHT lah yang digunakan sebagai pintu darurat untuk menutup kebutuhan selama belum bekerja kembali. Angka tepatnya sebanyak 998.882 klaim.”
Belum lama ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan perkembangan ekonomi saat ini tidak tertutup hanya pada bidang penghiliran, tetapi juga merambah ke bidang industri tekstil.
“Setelah adanya pandemi, baik ekspor maupun impor produk tekstil indonesia mengalami tren kenaikan yang cukup tinggi. Pemerintah menyiapkan berbagai insentif untuk mempertahankan ekonomi di sektor tekstil dan produknya,” tuturnya melalui keterangan resmi, Selasa (9/5/2023).
Hal tersebut terjadi seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia, daya beli masyarakat dan segmen kelas menengah juga tumbuh secara signifikan. Menurut Luhut, perkembangan ini akan memberikan potensi pasar yang menguntungkan bagi industri tekstil di Indonesia.
“Selain itu, reformasi kebijakan investasi yang berkelanjutan telah menarik banyak investasi baru ke dalam negeri. Pemerintah Indonesia akan terus melanjutkan reformasi pada aspek-aspek tersebut,” ujarnya.
(wdh)