Terkait dengan rencana revisi UU Gatrik, Bahlil menegaskan kebijakan pemerintah ke depan akan mempertimbangkan kepentingan nasional. Dia juga menyebut pemerintah tidak akan membiarkan intervensi asing dalam kebijakan ketenagalistrikan, khususnya menyangkut ekspor listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT).
"Kebijakan pemerintahan [Presiden] Pak Prabowo yang diperintahkan kepada saya, saya harus mempertimbangkan dan memprioritaskan national interest, jadi saya tidak mau negara kita itu muruahnya hilang dari negara lain yang terkesan negara lain mengintervensi kita," ujarnya.
"Kita baik sama negara lain, kita akan kasih ke negara lain, tetapi negara lain juga harus baik sama kita. Kita kasih ke mereka, tetapi mereka juga harus kasih kita apa. Nah, sekarang tim itu lagi berunding, tim kami dengan tim dari pihak Singapura itu lagi berunding, lagi mencari formatnya yang baik," sambungnya.
Sementara itu, soal kemungkinan revisi UU Migas untuk meningkatkan lifting nasional, Bahlil mengakui opsi tersebut masih terbuka. "Ada kemungkinan," ujarnya singkat.
Namun, ketika ditanya apakah revisi UU Migas bisa dilakukan dalam tahun ini, Bahlil tidak memberikan jawaban pasti.
Sebelumnya, Bahlil menyebut bahwa Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) adalah instansi yang bertanggung jawab atas rekomendasi agar Indonesia merevisi UU Migas.
Reformasi konstitusi soal migas terjadi pada 2001, seiring dengan berlakunya UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
UU tersebut memberikan liberalisasi di sektor migas Tanah Air, sehingga menjadikan perusahaan pelat merah Indonesia—dalam hal ini PT Pertamina (Persero) — harus berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan migas lainnya secara sehat dan wajar, termasuk di bisnis hilir migas.
"Pada era reformasi, seiring waktu berjalan, banyak perubahan yang kita lakukan termasuk rekomendasi IMF. Ketika kita mau dibantu, dokternya itu IMF. Dokternya itu agak salah-salah juga, saya mau buktikan," kata Bahlil di sela Mandiri Investment Forum 2025, Selasa (11/2/2025).
"Dia suruh kita untuk mengubah UU Migas. Apa yang terjadi? Tren lifting kita pasca-1996—1997 itu menurun terus. Kemudian, sampai 2008, kita agak naik sedikit karena kita dapat [Lapangan] Banyu Urip sampai dengan 2016."
Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu yang dioperatori oleh ExxonMobil Cepu Ltd memiliki rata-rata produksi sebesar 140.000 barel per hari (bph) per 2023.
Setelah bertahun-tahun menjadi penghasil minyak terbesar RI, kinerja Banyu Urip yang dikelola asing digeser oleh Blok Rokan di tangan PT Pertamina Hulu Rokan yang mampu menghasilkan 167.000 bph minyak pada akhir 2023 dan 160.000 bph pada 2024.
Tanpa mengelaborasi lebih jauh tentang bagaimana reformasi UU Migas menyebabkan penurunan kinerja produksi minyak Indonesia, Bahlil mengatakan lifting minyak nasional saat ini sudah tidak lebih dari 600.000 bph.
“Konsumsi minyak Indonesia sekarang 1,5 juta—1,6 juta bph. Jadi kondisi 1996—1997 berbalik sekarang. Impor kita sekarang 1 juta bph,” kata Bahlil.
Sampai dengan akhir 2024, produksi siap jual atau lifting minyak RI hanya 579.700 bph, meleset dari target APBN sebanyak 635.000 bph. Capaian itu bahkan lebih rendah dari produksi minyak 2023 yang sejumlah 605.500 bph.
Bahlil mengelaborasi pada 1996—1997, Indonesia merupakan salah satu penghasil minyak terbesar di OPEC. Lifting minyak waktu itu kurang lebih 1,6 juta bph, dengan konsumsi sekitar 500.000—600.000 bph, dan ekspor sekitar 1 juta bph.
Bahkan, kata Bahlil, 40%—50% dari total pendapatan negara saat itu bersumber dari migas.
(prc/wdh)