“Sementara itu, 30%—40% itu yang akan dilakukan ekspor bertahap. Namun, saya pastikan maksimal, andaikan begitu diberikan [izin ekspornya], Oktober sudah selesai, [atau] September lah,” tegasnya.
Terkait dengan kuota ekspor konsentrat yang diberikan kepada Freeport, Bahlil enggan mengonfirmasi. Dia hanya mengatakan volumenya akan tergantung pada finalisasi smelter katoda di Gresik.
Dia menyebut Freeport memproduksi sekitar 3 juta ton konsentrat per tahun, di mana sekitar 1,35 juta ton di antaranya dapat terserap oleh smelter eksisting, sedangkan sekitar 1,7 juta ton lainnya seharusnya dapat terserap oleh smelter baru di Gresik.
“Ya akan dihitung dengan baik ya, karena 51% saham Freeport itu kan sudah milik negara. Masalahnya begini, kalau kita tidak izinkan [ekspor], karyawannya jadi apa tuh? Aku mikir, kalau tidak kita izinkan, pendapatan untuk Papua, Timika, sama Pemda Papua bagaimana?”
Bahlil mengatakan saat ini rekomendasi ekspor untuk Freeport sedang diproses oleh Kementerian ESDM untuk diteruskan kepada Kementerian Perdagangan dan diharapkan segera rampung pada bulan ini.
Ancaman Sanksi
Lebih lanjut, Bahlil juga mengaku telah meminta Presiden Direktur Freeport Indonesia Tony Wenas untuk menadatangani surat perjanjian di atas meterai yang dinotariskan agar perusahaan tersebut menyelesaikan perbaikan dan operasional smelter Gresik tepat waktu pada Juni 2025
Jika tidak, sambungnya, pemerintah akan menjatuhkan sanksi kepada Freeport. Dia tidak memerinci sanksi apa yang disiapkan pemerintah kepada anak usaha Freeport-McMoRan Inc itu.
Akan tetapi, Bahlil menegaskan Freeport akan dikenai pajak ekspor alias bea keluar (BK) maksimal atas persetujuan ekspor konsentrat yang diberikan pemerintah.
“Ini sudah dibicarakan dengan Kementerian Keuangan, karena itu kan lintas kementerian, bukan hanya di ESDM. Itu ada Kementerian Perdagangan, Kemenkeu, dan ESDM, dan langsung dipimpin oleh Menko [Perekonomian] dalam pembicaraan itu.”
Sejak Mei 2024, Freeport membayar bea keluar dengan tarif 7,5% untuk ekspor konsentratnya. Tarif ini berlaku untuk konsentrat tembaga dengan kadar hingga 15% Cu. Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 38/2024 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.

Sebelumnya, Tony Wenas mengeklaim negara akan dirugikan sebanyak Rp65 triliun per tahun jika Freeport tidak diberi izin untuk kembali mengekspor konsentrat tembaga selagi smelter katoda di Gresik masih dalam perbaikan usai terbakar pada 14 Oktober 2024.
Dia mengatakan akibat terhentinya produksi di smelter tersebut, konsentrat tembaga yang dihasilkan Freeport di Papua hanya bisa terserap sebanyak 40% oleh PT Smelting di Gresik. Sisanya diklaim mangkrak atau idle.
Adapun, volume konsentrat tembaga yang mangkrak atau tidak bisa diproses di pabrik PT Smelting mencapai 1,5 juta ton.
“Kalau kita nilai dengan harga yang sekarang ini, itu nilainya bisa lebih dari US$5 miliar. Di mana dari US$5 miliar itu, pendapatan negara berupa bea keluar, royalti, dividen, pajak perseroan badan itu akan bisa mencapai US$4 miliar atau sekitar Rp65 triliun,” ujar Tony di sela rapat dengan Komisi XII DPR RI, Rabu (19/2/2025).
Perincian penurunan potensi penerimaan negara tersebut a.l. dividen senilai US$1,7 miliar (Rp28 triliun), pajak US$1,6 miliar (Rp26 triliun), bea keluar US$0,4 miliar (Rp6,5 triliun), dan royalti US$0,3 miliar (Rp4,5 triliun).
Tidak hanya itu, Tony mengelaborasi larangan ekspor konsentrat akan menyebabkan pengurangan pendapatan daerah sebesar Rp5,6 triliun pada 2025.
Perinciannya; Provinsi Papua Tengah berpotensi mengalami penurunan pendapatan Rp1,3 triliun, Kabupaten Mimika Rp2,3 triliun, dan kabupaten lain di Papua Tengah Rp2 triliun.
“Selain itu juga ada potensi berkurangnya alokasi dana kemitraan PTFI untuk program pengembangan masyarakat sebesar US$60 juta atau Rp960 miliar pada 2025,” tegas Tony.
Pemerintah tahun lalu telah menyetujui perseroan untuk melakukan ekspor konsentrat tembaga sekitar 840.000 wet metric ton (WMT) pada periode Juli—Desember 2024.
Di sisi lain, larangan ekspor konsentrat tembaga semestinya resmi berlaku sejak 1 Januari 2025. Hal ini termaktub pada Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 6/2024 tentang Penyelesaian Pembangunan Fasilitas Pemurnian Mineral Logam di Dalam Negeri telah berlaku sejak 1 Januari 2025.
Berdasarkan regulasi tersebut, relaksasi ekspor hanya diberlakukan bagi pemegang izin yang sedang menyelesaikan pekerjaan pada fasilitas pemurniannya (smelter) dan telah memasuki tahap commissioning fasilitas pemurniannya; yang dibuktikan dengan pembangunan fisik fasilitas pemurnian tersebut dan penilaian terhadap kesiapan, kelengkapan, kesesuaian dan/atau kelaikan peralatan dan instalasi untuk menjamin keandalannya.
Permen ESDM No. 7/2023 yang telah dicabut dan diganti oleh Permen ESDM No. 6/2024 tersebut kini telah membuat pemberlakuan larangan ekspor mundur lebih jauh lagi menjadi 1 Januari 2025, sehingga kegiatan ekspor mineral logam tertentu hanya sampai 31 Desember 2024.
(wdh)