Penerbangan kelas bisnis dilarang. Semua karyawan harus terbang dengan kelas ekonomi, tidak peduli seberapa jauh pun jaraknya. Biaya makan harian dibatasi jadi US$30 per hari, dengan hotel US$150 per malam. Makanan ringan menghilang dari kantor-kantor. Sea mengganti merek teh mewah lokal TWG dengan Lipton. Setidaknya di beberapa toilet, tisu toilet dua lapis digantikan dengan tisu toilet satu lapis.
"Kami peduli dengan setiap dolar, setiap sen [milik kami]," ujar Forrest Li di kantornya di Singapura, dalam wawancara pertamanya setelah lebih dari dua tahun.
"Anda dapat memiliki mimpi besar dan ambisi besar, tetapi bagaimana jika Anda tidak dapat bertahan? Anda selalu mendengar suara-suara di dalam pikiran Anda yang mengatakan bahwa kita mungkin akan kehabisan uang."
Perlakuan mengejutkan Forrest Li membuahkan hasil. Pada bulan Maret, Sea melaporkan laba kuartalan pertama dalam 14 tahun perusahaan berdiri, sebesar US$427 juta dalam bentuk laba bersih yang sesuai dengan GAAP. Sahamnya melonjak 22%.
Minggu lalu, perusahaan ini mengumumkan akan memberikan kenaikan gaji sebesar 5% kepada sebagian besar stafnya. Sea kini telah meningkatkan nilai pasarnya lebih dari dua kali lipat sejak bulan November.
Guncangan Besar Sea
Seperti banyak perusahaan startup di generasinya, Sea telah mengalami kerugian selama bertahun-tahun. Faktanya, perusahaan ini telah kehilangan lebih dari US$8 miliar sejak didirikan untuk membiayai pertumbuhan e-commerce, game, dan layanan keuangan digitalnya. Namun kini, Sea memberikan contoh yang berbeda: perusahaan menunjukkan bahwa jika bisnis yang Anda jalankan sehat dan substansial, Anda bisa mengurangi subsidi dan ekspansi untuk mencapai titik impas (break even point).
Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pesaing. Di antaranya, Grab Holdings Ltd. yang masih merugi lebih dari US$300 juta per kuartal, dan kerugian GoTo Group lebih dari US$250 juta. Sea juga dapat menyebabkan masalah bagi raksasa teknologi global seperti Alibaba Group Holding Ltd. dan Amazon.com Inc., yang keduanya mencari pertumbuhan di pasar negara berkembang.
"Apa yang Anda lihat adalah pemisahan antara model bisnis yang tepat dan dapat dimonetisasi dengan sesuatu yang masih dalam proses," ujar Amit Kunal, managing partner Growtheum Capital. "Sea membaca pasar lebih awal, mengambil langkah yang tepat dan berhasil."
Forrest Li memiliki firasat bahwa masalah akan datang. Pada bulan November 2021, ia menjamu tim kepemimpinan perusahaan di rumahnya di Singapura untuk makan malam guna merayakan ulang tahunnya yang ke-44.
Mereka memiliki banyak hal untuk dirayakan. Saham Sea telah melonjak mencetak rekor tertinggi pada bulan Oktober. Valuasi perusahaan itu mencapai lebih dari US$200 miliar karena terjadi kenaikan pengguna game online pada unit bisnis Sea, Garena dan bisnis e-commerce Shopee selama pandami. Bahkan Sea sempat menjadi saham berkinerja terbaik di dunia pada 2020.
Namun, saat makan malam itu Forrest Li melihat tanda-tanda yang tidak menyenangkan. Dia memperhatikan bahwa di Free Fire, game seluler multi-pemain populer perusahaan dengan 150 juta pengguna harian, pengguna mulai menghabiskan lebih sedikit waktu dan uang, seiring dengan meredanya pembatasan Covid-19. Perayaan tersebut berubah menjadi perdebatan tentang bagaimana dunia akan berubah setelah pandemi.
Kemudian pada Februari 2022, India secara tiba-tiba melarang Free Fire, bersama dengan lusinan aplikasi China, di tengah meningkatnya ketegangan antara kedua negara. Meskipun Forrest Li adalah warga negara Singapura dan mendirikan perusahaannya di sana, ia berasal dari timur laut China dan Tencent Holdings Ltd. adalah pemegang saham utama. Ini merupakan kemunduran besar di pasar yang sedang tumbuh pesat.
Pada bulan Maret, ketika Forrest Li berbicara dalam sebuah paparan kinerja keuangan kuartalan tentang rencana untuk tetap mengejar pertumbuhan, para investor membuang saham Sea. Perusahaan kehilangan lebih dari 45% nilai pasarnya dalam lima hari.
Bagi Forrest Li, ini merupakan sebuah peringatan bahwa keadaan menjadi lebih buruk dari yang ia duga. Saat itulah ia menulis memo muram kepada timnya dari tempat tidurnya.
Pangkas Biaya Sana-sini
Forrest Li dan tim seniornya masuk ke mode krisis. Mereka mulai berkumpul setiap bulan untuk membahas proyeksi arus kas, bersamaan dengan pertemuan rutin mingguan. Mereka membahas 200 versi perkiraan keuangan yang berbeda pada tahun 2022, kata Forrest Li dalam wawancara tersebut, seperti menulis ulang anggaran setiap dua hari.
Selain PHK dan pembekuan gaji, Sea menarik diri dari Eropa dan sebagian besar negara di Amerika Latin.
Dampaknya sangat traumatis bagi sebagian orang. Pada bulan Agustus, seorang insinyur asal China memposting di akun WeChat-nya bahwa Shopee telah membatalkan tawaran pekerjaan - tepat setelah ia mendarat di bandara Singapura, bersama istri dan anjingnya. Di tengah badai publisitas negatif, Shopee meminta maaf dan memberikan kompensasi atas kerugiannya.
Para karyawan terpaksa mengeluarkan uang dari kantong mereka sendiri untuk menyelenggarakan acara tim untuk meningkatkan semangat kerja, menurut seorang karyawan, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya. Karyawan lainnya menggambarkan periode yang melelahkan itu sebagai "masa-masa kecoa."
Forrest Li mengandalkan memo internal selama krisis untuk berkomunikasi dengan karyawan dan menjelaskan apa yang ingin dia capai. Dalam sebuah memo kepada seluruh staf pada bulan September, ia mengatakan bahwa manajemen puncak akan meniadakan kompensasi uang tunai hingga perusahaan mencapai kemandirian.
"Kita sekarang dapat melihat bahwa ini bukanlah badai yang akan berlalu dengan cepat," tulisnya dalam sebuah memo sepanjang 1.000 kata pada saat itu.
"Dengan para investor yang melarikan diri ke investasi 'safe haven', kami tidak mengantisipasi untuk penggalangan dana di pasar."
Pada satu titik, Sea merasa bangga dapat menawarkan karyawannya teh termewah di Singapura, fasilitas yang setara dengan raksasa teknologi di Silicon Valley, kata Forrest Li dalam wawancara tersebut.
Sekarang dia ingin mematahkan pola pikir tersebut: Sea harus bersaing dalam hal biaya dengan perusahaan seperti Amazon, di mana para karyawannya dulu terkenal membuat meja dari pintu Home Depot karena harganya lebih murah.
Beberapa karyawan di kantor tertentu menyadari bahwa tisu toilet semakin tipis. Kadang-kadang tisu toilet akan habis karena orang menggunakan lebih banyak.
"Kami akan terus menekan biaya. Ini bukan hanya untuk penghematan tetapi juga untuk menjalankan bisnis dengan lebih efisien. Ini akan menjadi mode jangka panjang bagi kami," katanya.
Setelah Sea memotong anggaran hiburannya sehingga karyawan tidak bisa lagi menjamu para pemasok atau mitra, Forrest Li mendorong staf untuk memberi tahu mereka bahwa perusahaan tidak mampu membayar hal-hal seperti itu lagi. Sea juga memanggil sebagian besar staf di Asia Tenggara untuk kembali ke kantor akhir tahun lalu, salah satu perusahaan internet besar pertama yang melakukan langkah ini di wilayah tersebut.
Sea Bakal Ikuti Jejak Sukses Amazon
Meskipun Forrest Li mengakui bahwa perjalanannya memang sulit, ia masih percaya Sea dapat mencapai titik impas. Li mengatakan bahwa jalur perusahaan ini, dalam banyak hal, mengikuti jejak Amazon dan pendirinya, Jeff Bezos.
Amazon yang berbasis di Seattle secara konsisten merugi pada tahun-tahun pertamanya sebagai perusahaan publik. Ketika itu Jeff Bezos menyatakan berinvestasi pada pertumbuhan lebih penting daripada pendapatan kuartalan. Demikian pula, Sea membangun Shopee dengan menghabiskan lebih dari satu miliar dolar per tahun sebelum menyalip pionir e-commerce lokal Tokopedia, di Indonesia dan Lazada, milik Alibaba di Asia Tenggara.
Forrest Li berpendapat bahwa Sea memiliki peluang unik untuk membawa e-commerce ke pasar negara berkembang, tempat di mana Amazon mungkin kurang beruntung.
Keberhasilan di negara-negara ini dapat bergantung pada melayani pelanggan yang tinggal di pulau-pulau terpencil, menemukan solusi pembayaran di mana hanya sedikit orang yang memiliki kartu kredit, atau mengirimkan paket di mana tidak ada jalan atau kode pos yang tepat.
"Mungkin sulit bagi inovator Silicon Valley untuk memikirkan masalah-masalah tersebut secara khusus," kata Forrest Li.
Meskipun sebagian besar ekspansi Sea dilakukan di pasar Asia seperti Indonesia, Li juga berpikir bahwa perusahaan memiliki keunggulan di Brasil, di mana Shopee telah meraih kesuksesan sejak diluncurkan tahun 2019. Dengan 214 juta penduduk dan pendapatan per kapita yang layak, menurutnya, Brasil adalah pasar pertumbuhan Sea yang paling menjanjikan.
"Kami menghabiskan banyak uang ketika modal relatif murah dan tersedia, dan ini merupakan upaya yang hampir 10 tahun," kata Forrest Li tentang Brasil.
Saat ini, Forrest Li mengatakan bahwa ia membagi waktunya antara Singapura dan California untuk tetap dekat dengan revolusi kecerdasan buatan yang "luar biasa" yang terjadi di Silicon Valley.
Ia yakin AI akan memainkan peran besar dalam menggantikan banyak pekerjaan yang berulang-ulang dalam bisnis e-commerce, game, dan fintech Sea.
Game, khususnya, mungkin berada di depan belanja online dalam hal, bagaimana orang menggunakan AI untuk mengembangkan dan memainkan game dengan membuatnya lebih interaktif dan imersif, katanya.
Saat wawancara di kantor pusat Sea berakhir, Forrest Li ditanya apakah perusahaan akan dapat terus menghasilkan keuntungan setiap kuartal. Dia memiringkan kepalanya ke samping dan, sambil tertawa, mengatakan bahwa dia tidak dapat mengungkapkan terlalu banyak. Pasalnya Sea sedang dalam masa tenang menjelang laporan keuangan kuartal pertama pada tanggal 16 Mei.
Namun, bukan itu intinya, tambahnya. Kuncinya adalah bahwa Sea telah mampu menunjukkan kepada karyawan dan investor bahwa mereka dapat mencapai titik impas ketika mereka harus melakukannya.
Jadi sekarang, Sea dapat mengkalibrasi pertumbuhan dan keuntungan tergantung pada prioritas strategis. "Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa takdir ada di tangan kita sendiri," ujarnya. "Kami bisa tidur nyenyak sekarang."
- Dengan bantuan dari Olivia Poh dan Tao Zhang.
(bbn)