Bloomberg Technoz, Jakarta - Kalangan pelaku pasar saham domestik menilai penerapan transaksi short selling seharusnya tidak hanya dilakukan dalam satu hari perdagangan (intra day). Volatilitas pergerakan harga saham menarik bagi investor jika bisa memanfaatkan situasi tren naik maupun turun.
Hal ini disampaikan oleh Head of Equity Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro yang meminta otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk menerapkan short selling lebih dari satu hari.
“Jadi kalau ada short selling, kalau bisa, short sellingnya jangan cuman satu hari, mungkin bertahap, kan gradual dibikin short positionnya bisa panjang lah,” ucap Satria di sela Bloomberg Technoz Economic Outlook 2025, dikutip Jumat (21/2/2025)
“Kenapa? karena, kalau pasar itu naik turunnya menarik bagi investor, dan kita butuh ini trading liquidity,” kata Satria.
Satria juga mengatakan bahwa kebiasaan para investor di pasar saham Indonesia melakukan buy saat harga saham turun untuk melakukan averaging. “Begitu sudah dibawah, uangnya habis, mereka bingung mau ngapain,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Satria juga mengungkap bahwa penerapan suspensi saham (Unusual Market Activity/UMA) hanya berlaku di pasar saham Indonesia. Penerapan UMA diklaim mempengaruhi minat para investor menarik diri dari pasar saham Indonesia.
“Pasar saham kita itu satu-satunya di regional atau global itu ada sistem UMA atau disuspensi,” ungkap Satria.
Dibandingkan dengan pasar saham di Amerika Serikat (AS), Satria mengatakan pergerakan likuiditas saham terbilang lebih dinamis. “Misalnya nih di AS, orang beli saham NVDIA, itu naiknya bisa 20% 50% 100% sehari, jadi sangat dinamis, kalaupun naik nya sudah terlalu tinggi bisa di short, jadi market mechanism nya sangat jalan,” katanya.
Sedangkan di Indonesia, jika harga saham naik sampai dengan 25% kemudian bursa akan menerapkan status UMA atau suspensi terhadap saham tersebut. Hal tersebut yang membatasi keuntungan dari para investor.
“Sedangkan kebetulan gen z-gen z sekarang mereka sudah biasa tuh, Sabtu-Minggu investasi di kript, eh minus 70%, itu biasa, market mechanism aja. Jadi bisa menjadi lebih adaptif lah pasar kita relatif terhadap regional dan global, apalagi outlooknya lagi bagus dan valuasinya sedang murah,” kata Satria.
Bursa Efek Indonesia (BEI) diperkirakan akan meluncurkan short selling tahap pertama pada kuartal II-2025, yaitu Maret atau April 2025 mendatang.
Sebelumnya Head of Economic Analysis BEI Vitri Herma Susanti ungkap rencana BEI luncurkan short selling pada kuartal II-2025. Short selling merupakan salah satu cara bursa untuk meningkatkan likuiditas di pasar saham Indonesia, yang ditargetkan sebesar 2-3%.
“Di tahap pertama, kami menargetkan mungkin adanya peningkatan likuiditas sekitar 2-3%,” kata Vitri.
Target tersebut tergambar dari beberapa bursa negara lain, yaitu bursa Malaysia yang berhasil meningkatkan likuiditas melalui short selling sebesar 2%, Thailand sekitar 5%, dan Hongkong sampai 17%.
(fik/hps)