Bloomberg Technoz, Jakarta - Para investor di pasar surat utang alias obligasi saat ini masih bertanya-tanya tentang transparansi kondisi keuangan negara, sejurus dengan langkah Presiden Prabowo Subianto menggeber efisiensi anggaran hingga ratusan triliun rupiah.
Realokasi anggaran di Kementerian/Lembaga juga pengurangan transfer ke daerah, ditambah pemanfaatan dividen BUMN, disebutkan akan digunakan untuk dua hal yaitu mendukung program prioritas Makan Bergizi Gratis, juga sebagai suntikan pada badan investasi baru, BPI Danantara.
Angkanya, seperti disebut Presiden Prabowo dalam pidatonya di acara Partai Gerindra, yakni sejumlah US$ 24 miliar atau sekitar Rp391,92 triliun dengan kurs dolar AS saat ini untuk Makan Bergizi Gratis. Lantas, sebesar US$ 20 miliar atau sekitar Rp326 triliun akan diserahkan pada Danantara untuk dikelola.
"Investor sering menanyakan pada kami kondisi saat ini adalah transparansi dari sisi fiskal. Itu mungkin satu hal penting untuk terus dilakukan oleh pemerintah. Jadi, kalau kita bicara transparansi fiskal, realokasi dari sisi budget maupun dari sisi prioritas pemerintah ini kemana, dampak ke GDP [pertumbuhan ekonomi] seperti apa dan medium terms outlook fiskal ini harus benar-benar bisa dikomunikasikan dengan bagus," kata Handy Yunianto, Head of Fixed Income Research Division Mandiri Sekuritas, dalam paparannya di acara Bloomberg Economic Outlook 2025, hari ini (20/2/2025).
Sedikit mundur ke belakang, ketika hasil Pemilu 2024 lalu keluar, para investor di pasar obligasi, terutama investor asing, banyak yang memilih keluar sementara menanti kejelasan kebijakan fiskal Pemerintah RI di bawah presiden terpilih.
Program-program yang dijanjikan Prabowo semasa kampanye dinilai akan memakan anggaran sangat besar di kala penerimaan negara masih mengawang-awang, terutama ketika harga komoditas cenderung tertekan.
Kini, setelah resmi menjabat, berbagai kebijakan populis Presiden Prabowo juga menuai tanda tanya akan prospek kedisiplinan fiskal pemerintah.
Penerapan pemangkasan anggaran mungkin akan terbukti menantang dan mengejar keuntungan dari efisiensi terlihat terlalu ambisius, menurut Kunal Kundu, Ekonom Societe Generale SA, dilansir dari Bloomberg.
"Kami melihat kemungkinan bahwa kehati-hatian akan terabaikan seiring belanja populis menjadi pusat perhatian," kata Kundu.
Pembatalan PPN, misalnya, telah membuat para pengelola dana global merevisi perkiraan defisit fiskal Indonesia untuk tahun ini juga tahun depan.
Mempertahankan target fiskal sejatinya adalah kunci untuk mempertahankan kepercayaan investor dan mendukung stabilitas ekonomi RI pada tahun-tahun mendatang, menurut Anders Faergemann, co-Head of Emerging market Global Fixed Income di Pinebridge Investments di London, dilansir dari Bloomberg.
Pemerintah RI menargetkan defisit APBN 2025 sebesar 2,5% dari Produk Domestik Bruto. Undang-Undang di Indonesia membatasi batas rasio utang terhadap PDB maksimal sebesar 3%.
Sentimen bunga acuan
Dalam sebulan terakhir, seperti dicatat data Bloomberg, semua tenor SUN mencatat penurunan imbal hasil, mengindikasikan kenaikan harga obligasi.
Itu terutama karena terpicu penurunan BI rate pada Januari lalu sebesar 25 basis poin. Juga, penurunan tingkat bunga diskonto instrumen moneter bank sentral, Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang sudah cukup dalam hingga ke level 6,4% dalam lelang terakhir pekan lalu.
Penurunan yield terdalam dicatat tenor pendek 1Y, yaitu mencapai 52,3 basis poin dalam sebulan terakhir ke level 6,252%. Sementara tenor 2Y turun 48,7 basis poin ke level 6,381%.
Adapun tenor menengah 5Y sudah terpangkas 37,9 basis poin yield-nya 6,534%. Lalu, tenor 10Y turun 35 basis poin di level 6,784%. Dan tenor 20Y serta 30Y, dalam sebulan terakhir mencatat penurunan yield masing-masing 33,9 basis poin dan 20,5 basis poin.
Sementara itu, kinerja rupiah cenderung tertekan di mana sejak Presiden Prabowo menghuni istana, mata uang Indonesia sudah tergerus 5,11%, menjadi valuta dengan pelemahan terdalam di Asia.
Pelemahan rupiah, sebagian besar adalah karena tergulung fenomena strong dollar di seluruh dunia terutama ketika Donald Trump kembali terpilih sebagai Presiden AS, dengan sejumlah kebijakannya yang mengusung proteksionisme.
(rui)