Bloomberg Technoz, Jakarta - Co-Founder & Managing Partner East Ventures, Wilson Cuaca menilai kian pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan atau AI dapat mengubah ekosistem startup dan pola investasi di Indonesia.
Dia pun merujuk pada fenomena teknologi AI seperti DeepSeek mencerminkan suatu paradoks; kemajuan teknologi justru menurunkan biaya dan mempercepat adopsi. Hal yang sama seperti pergeseran besar industri teknologi pada satu dekade terakhir; ketika Android yang awalnya dianggap sebagai sistem operasi yang tidak aman dan murah justru menjadi paling populer.
"Saat kami mendirikan perusahaan ini beberapa tahun yang lalu, kami masih berpegang pada tesis tentang internet mobile. Saat itu, Android bersaing ketat dengan iPhone. 'Android dikenal sebagai sistem open-source yang tidak aman dan murah' banyak yang meragukan keunggulannya. Namun, karena harganya murah, akhirnya semua orang menggunakannya. Itulah paradoksnya," kata Wilson dalam acara Indonesia Economic Summit 2025 di Jakarta, dikutip Kamis (20/2/2025).
"OpenAI menjadi salah satu perusahaan pemimpin dalam industri ini, membeli banyak teknologi dan membuat AI lebih mudah diakses oleh semua orang. Kemudian, tiba-tiba muncul solusi [DeepSeek] dengan harga hanya 10% dari OpenAI, membuat biaya pengembangannya semakin rendah."
Sehingga, menurutnya, munculnya solusi AI dengan harga yang jauh lebih murah telah menurunkan hambatan masuk bagi perusahaan dan startup baru. Dia memperkirakan bahwa tren ini akan menyebabkan lonjakan besar dalam adopsi AI di berbagai sektor.
Satu dekade lalu, Indonesia, ungkap Wilson diuntungkan dengan lingkungan global yang memiliki suku bunga rendah dan modal murah. Hal ini memungkinkan investasi besar dalam edukasi pengguna dan pengembangan ekosistem startup.
Namun, di era AI saat ini, meskipun biaya teknologi semakin murah, modal investasi justru menjadi lebih mahal.
"Cara kita berinvestasi akan berubah, tetapi prinsipnya tetap sama. Setiap 10-15 tahun, selalu ada satu atau dua inovasi teknologi yang mengubah lanskap industri. Saya percaya AI akan menjadi salah satunya," ujar dia.
Namun, di tengah perubahan ini, apakah Indonesia akan menjadi pusat pengembangan semikonduktor atau menciptakan model AI sendiri? Wilson menjawab, tidak. Indonesia menurutnya harus lebih pragmatis dalam pendekatannya, yaitu dengan memanfaatkan teknologi yang sudah ada dan membangun ekosistem yang kuat.
Dengan menarik talenta dan pendanaan, Indonesia dapat memperkuat posisinya dalam ekonomi digital dan AI di masa depan.
Membangun Daya Saing Teknologi Indonesia
Lee Xiaodong, Founder & CEO Fuxi Institution menambahkan, terdapat dua aspek utama dalam teknologi: pengembangan aplikasi dan teknologi fundamental. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) memiliki keunggulan dalam pengembangan teknologi fundamental berkat ketersediaan modal, talenta, dan infrastruktur yang memadai.
Sebaliknya, Indonesia menurut Xiaodong dapat berfokus pada pengembangan aplikasi berbasis AI yang dapat diadaptasi dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik.
"Saat ini, hanya segelintir negara terutama AS yang memiliki kapasitas untuk mengembangkan teknologi fundamental. Namun, dalam hal aplikasi, Indonesia sebagai negara besar memiliki peluang besar untuk menciptakan inovasi, terutama dalam pengembangan teknologi intelektual dan komputasi kuantum," ujar dia.
Menurut, Xiaodong Indonesia memiliki keunggulan demografis sebagai salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia. Ini menciptakan potensi pasar yang luas bagi adopsi teknologi baru. Namun, untuk memaksimalkan peluang ini, diperlukan investasi dalam pengembangan ekosistem teknologi yang berkelanjutan.
"Mengapa kita perlu memulai dengan teknologi? Karena dalam industri global, teknologi memiliki daya saing yang kuat dalam hal modal, investasi, dan inovasi. Dengan memanfaatkan keuntungan ini, Indonesia bisa mulai mengembangkan ekosistem teknologinya," kata Lee.
"Dalam 10 tahun ke depan, kita dapat memperoleh lebih banyak teknologi, membangun koneksi dengan komunitas teknologi global, menarik lebih banyak investasi, dan mengembangkan ekosistem inovasi yang berkelanjutan."
(prc/frg)