Logo Bloomberg Technoz

Kebijakan Google mengharuskan pengembang yang menawarkan pembelian dalam aplikasi untuk menggunakan Google Play Billing sebagai metode pembayaran. Hal ini bertujuan untuk memberikan cara transaksi bagi jutaan pengguna di seluruh dunia dan memudahkan mereka mengelola pembayaran dari satu lokasi pusat. 

KPPU Indonesia menilai kebijakan GPB ini sebagai praktik bisnis yang tidak adil. Dengan demikian, KPPU menjatuhkan denda Rp202,5 miliar kepada Google karena dianggap menyalahgunakan posisi dominannya dengan mewajibkan pengembang aplikasi Indonesia menggunakan Google Play Billing dengan biaya hingga 30%.

Oleh karena itu, lanjut Nailul, yang menjadi persoalan utama yang dikritisi adalah besaran biaya pengembangan aplikasi yang dibebankan kepada developer.

"Jika komisi tersebut sebanding dengan layanan yang diberikan dan tidak bersifat memaksa, maka seharusnya tidak menjadi masalah," jelasnya. 

Namun, jika benar terdapat indikasi bahwa Google menggunakan posisinya sebagai pemimpin pasar untuk membatasi pilihan pembayaran, "maka ini bisa menjadi isu persaingan usaha yang perlu ditelaah lebih lanjut."

Google juga diketahui tengah mengajukan banding terhadap putusan KPPU terkait praktik bisnis perusahaan dalam ekosistem aplikasi digital. Salah satunya karena keputusan KPPU dinilai mengandung banyak ketidakakuratan faktual. 

"Meskipun kami tetap berkomitmen pada keterlibatan yang konstruktif dengan regulator Indonesia, kami ingin memastikan fakta tentang bagaimana layanan kami beroperasi sebenarnya dipahami dengan benar," jelas perwakilan Google dalam keterangan resminya, Selasa (11/2/2025). 

"Itulah sebabnya kami dengan hormat mengajukan banding atas putusan tersebut, yang didasarkan pada kesalahpahaman mendasar tentang ekonomi aplikasi dan cara kerja bisnis kami," dinyatakan perusahaan teknologi asal Amerika Serikat (AS) tersebut. 

Adapun terkait dengan upaya banding yang dilakukan oleh Google kepada KPPU, dari segi regulasi, Nailul menilai akan ada tantangan dalam bagaimana KPPU menangani kasus ini.

Pasalnya selama ini KPPU--yang memiliki kewenangan untuk menyelidiki dugaan praktik anti persaingan--justru dalam menangani perkara masih terpusat dalam internal KPPU sendiri. 

Oleh karena itu, dirinya mendorong agar adanya persidangan terkait persaingan usaha memiliki pengadilan khusus yang lebih independen, mirip dengan sistem peradilan lainnya di negara-negara dengan regulasi antimonopoli yang lebih maju.

Sebagai catatan, dalam putusan sidangnya, KPPU telah menemukan sejumlah bukti yang menunjukkan praktik monopoli oleh Google LLC di Indonesia yakni:

1. Google mewajibkan para pengembang aplikasi yang mendistribusikan produknya melalui Google Play Store untuk menggunakan GPB System dalam transaksi pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi (in-app purchase). Dengan demikian, kebijakan ini membatasi pilihan pengembang dalam memilih sistem pembayaran yang lebih sesuai atau menguntungkan.

2. Melalui penerapan GPB System, Google mengenakan biaya layanan (service fee) sebesar 15% hingga 30% dari setiap transaksi. Besaran biaya ini dianggap memberatkan pengembang aplikasi, mengurangi pendapatan mereka, dan pada akhirnya dapat mempengaruhi harga serta aksesibilitas bagi konsumen.

3. Selain itu, KPPU turut mencatat bahwa Google menguasai sekitar 93% pangsa pasar distribusi aplikasi di Indonesia. Dominasi ini membuat pengembang aplikasi memiliki keterbatasan pilihan platform distribusi, sehingga terpaksa mematuhi kebijakan dan persyaratan yang ditetapkan oleh Google, termasuk penggunaan GPB System.

4. Google disebut menerapkan sanksi tegas bagi pengembang yang tidak mematuhi kebijakan penggunaan GPB System, termasuk penghapusan aplikasi dari Google Play Store. Tindakan inilah yang dinilai membatasi pasar dan menghambat pengembangan teknologi oleh para pengembang lokal.

(ain)

No more pages