Logo Bloomberg Technoz

Alih-alih, dia berpendapat pemerintah sendiri tidak serius dalam mengupayakan pendanaan transisi energi.

“Kegagalan JETP itu bukan karena AS keluar, tetapi karena pemerintah kita enggak perform. Reformasi kebijakan enggak dilakukan. Tidak menciptakan iklim investasi untuk investor masuk,” kata Fabby saat dihubungi.

Fabby menjelaskan 'donatur' asing untuk program transisi energi tidak pernah memberikan uang secara cuma-cuma. International Partners Group (IPG) memberikan dana untuk sejumlah proyek. Kemudian, IPG memberikan hibah sekitar US$300 juta.  

Tujuan IPG memberikan hibah tidak lain adalah untuk meningkatkan pembiayaan yang lebih besar lagi.

Jika dilihat berdasarkan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) atau dokumen strategis yang disepakati dalam Joint Statement JETP, kebutuhan pendanaan hingga 2030 mencapai US$97 miliar.

“Komitmen pendanaannya [IPG] kan hanya US$21 miliar. Nah, jadi masih ada gap US$76 miliar. Jadi, ujung-ujungnya ya menurut saya, kita enggak perlu pusingin [nasib] si JETP setelah AS keluar atau apa. Namun, hal yang harus dipikirkan adalah bagaimana Indonesia bisa menarik investasi US$76 miliar,” tuturnya.

Fabby berpandangan daripada meributkan Presiden Donald Trump keluar dari Perjanjian Paris—yang berujung pada penarikan diri AS dari komitmen JETP — lebih baik pemerintah ‘memutar otak’ bagaimana bisa mendatangkan investasi untuk proyek transisi energi.

“Karena kalau enggak ada investasi itu, ya sama saja bohong. Enggak akan jalan itu energi terbarukan,” ujarnya.

Bahlil sendiri pekan lalu menyebut kembalinya Trump ke Gedung Putih mengubah peta dunia terhadap desain energi. Wacana-wacana global terkait dengan transisi dan energi hijau bubar di tengah jalan setelah Trump menarik AS dari Paris Agreement, segera setelah dilantik.

Sejalan dengan hal itu, batu bara sebagai sumber utama bauran energi primer Indonesia mulai kembali mendapatkan perpanjangan napas, setelah sempat dikejar-kejar tuntutan pemadaman pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari pihak-pihak pro-transisi energi.

“Kita pikir batu bara sudah mau selesai, eh bernyawa lagi barang ini. Jadi bapak ibu semua, memang batu bara ini jujur saya katakan harganya jauh lebih murah,” kata Bahlil di sela Mandiri Investment Forum, Selasa (11/2/2025).

“Tadinya dalam RUPTL 2025—2034, saya tidak lagi menyusun [pembangkit] batu bara, tidak lebih dari 7%; itu pun yang sudah berkontrak. Akan tetapi, dengan keluarnya AS dari komitmen Paris Agreement, ya Amerika saja keluar kok, [padahal] dia yang membuat; apalagi Indonesia cuma ikut-ikutan. So?”

(mfd/wdh)

No more pages