Bloomberg Technoz, Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan akan menerapkan mandatori bioavtur 3% pada 2026. Namun, hingga saat ini wacana tersebut masih digodok.
“Saat ini kami berhitung dengan Pertamina bahwa bioavtur bisa dipercepat dengan 3% dan bisa dimandatorikan pada 2026,” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi saat rapat bersama Komisi XII, Selasa (18/2/2025).
Eniya menyebut pemerintahan kabinet sebelumnya atau era Presiden Ke-7 Joko Widodo pernah membahas mandatori bioavtur untuk 2027.
Akan tetapi, persentase bioavtur yang ditargetkan saat itu hanya sebesar 1%. Dia menegaskan hingga saat ini pemerintah masih menggodok rencana implementasi bioavtur 3%.
“Itu baru draf yang kita ajukan, jadi baru dibahas. Itu perlu perhitungan kesiapan dari lokal ya. Nanti Pertamina akan seperti apa, itu masih nanti. Permennya [peraturan menteri] kan baru direvisi. Nah ini baru mau didiskusikan ke Pak Wamen [Yuliot Tanjung] nanti,” ujarnya.

Eniya menuturkan mandatori bioavtur 3% merupakan arahan dari Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, tetapi rencana itu masih perlu kajian yang mendalam.
“Jadi permennya pengusahaan bahan bakar nabati, tetapi nanti kapan, per tahunnya berapa persen itu nanti di kepmen [keputusan menteri]. Seperti yang terjadi sekarang di [mandatori biodiesel] B40,” tuturnya.
“Jadi mungkin roadmap-roadmap seperti itu mungkin hanya di narasi saja, tetapi tidak kita eksplisitkan di dalam peraturan menterinya nanti.”
Tidak Selaras
Menurut Eniya, dalam pengalamannya selama ini, peta jalan biofuel yang ditetapkan tidak pernah berjalan sesuai rencana. Dia mencontohkan sejatinya mandatori bioetanol 20% ditargetkan pada 2025 jika merujuk regulasi lama. Dari pengalaman itu, persentase mandatori akan diatur dalam keputusan menteri agar lebih fleksibel.
“Jadi pada saat kita mau [diterapkan], ayo mandatori 1 Januari kemarin B40, baru kepmennya dikeluarkan untuk [biodiesel] 40%,” imbuhnya.
Saat ini Indonesia tengah melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan sumber energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan rendah emisi karbon. Salah satunya dengan membangun pabrik bioavtur yang direncanakan akan berlokasi di Riau.
"Kita juga sedang siapkan di Riau untuk kapasitas sekitar 300.000 dan kalau sudah ada produksinya baru kita tentukan apakah kita menggunakan 1% atau 2%," ujar Airlangga, Selasa (10/12/2024).
Menurut Airlangga, pengembangan bioavtur di Indonesia dilakukan seiring dengan negara tetangga seperti Singapura yang juga mengembangkan produk yang sama.
Singapura padahal menggunakan bahan baku sustainable aviation fuel (SAF) dari Indonesia berupa minyak jelantah atau used-cooking oil (UCO) maupun minyak inti kelapa sawit atau palm kernel oil (PKO).
Menurut catatan Kementerian ESDM, PT Kilang Pertamina Internasional saat ini telah memproduksi J2,4, atau bahan bakar jet yang mengandung 2,4% bioavtur/SAF dengan menggunakan refined, bleached, and deodorized palm kernel oil (RBDPKO).
SAF produksi Pertamina telah digunakan dalam uji penerbangan pesawat militer pada 2021 dan pesawat komersial pada 2023.
Adapun, saat ini Kementerian ESDM tengah menyusun strategi pemanfaatan SAF dan mendorong produksi SAF ke skala industri, dengan bahan baku minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO), UCO, limbah pabrik kelapa sawit atau palm oil mill effluent (POME) dan ekstraktor inti sawit atau palm kernel expeller (PKE), serta minyak malapari atau pongamia.
(mfd/wdh)