Per 7 Februari 2025, saham BNI ditutup pada Rp4.270 per lembar, turun 25,7% secara tahunan (YoY), meskipun secara rata-rata sepanjang 2024, saham BBNI masih mencatatkan kenaikan 11,1% YoY.
Dengan asumsi seluruh dana buyback sebesar Rp1,5 triliun digunakan, total aset dan ekuitas BNI akan berkurang dengan jumlah yang sama. Namun, manajemen memastikan bahwa aksi korporasi ini tidak akan berdampak negatif secara material terhadap operasional maupun laba perseroan.
Proyeksi setelah buyback menunjukkan laba bersih per saham (EPS) BNI meningkat dari Rp575 menjadi Rp581, sementara return on equity (ROE) naik tipis dari 14,24% menjadi 14,39%.
Hal ini menunjukkan bahwa buyback berpotensi memberikan nilai tambah bagi pemegang saham tanpa mengganggu stabilitas keuangan perusahaan.
Selain menjaga stabilitas harga saham, BNI juga berencana mengalokasikan saham hasil buyback untuk program kepemilikan saham bagi pegawai, direksi, dan dewan komisaris. Program ini bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan manajemen dalam pertumbuhan jangka panjang perusahaan, sejalan dengan ketentuan Peraturan OJK No. 45/POJK.03/2015 tentang remunerasi berbasis kinerja bagi bank umum.
Pengalihan saham ini akan dilakukan dalam waktu maksimum tiga tahun setelah buyback selesai, dan jumlah saham yang dialihkan akan disesuaikan dengan realisasi buyback.
Langkah buyback ini diprediksi akan memberikan sentimen positif bagi saham BNI dalam jangka pendek.
Dengan buyback yang diharapkan meredam volatilitas dan meningkatkan kepercayaan investor, pasar kini menunggu hasil RUPST pada 26 Maret 2025 sebagai titik krusial dalam pelaksanaan strategi ini.
Sebelumya, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) mengumumkan rencana pembelian kembali (buyback) saham. Buyback dilakukan untuk menjaga keselarasan antara harga saham dan fundamental BMRI.
Dalam keterbukaan informasi, dikutip Minggu (16/2/2025), BMRI menyiapkan dana senilai Rp 1,17 triliun untuk buyback. BMRI akan meminta persetujuan pemegang saham pada RUPS yang diselenggarakan 25 Maret 2025 mendatang.
(rtd/hps)