Setidaknya Andry menyampaikan, dengan diberlakukannya PP 28 Tahun 2025, pemerintah berharap dapat memperoleh beberapa keuntungan dalam jangka pendek.
Pertama, menurut Andry, dapat meningkatkan Cadangan Devisa.
“Dengan kewajiban penyimpanan DHE selama satu tahun, devisa negara berpotensi meningkat dan memperkuat nilai tukar rupiah,” terangnya.
Sedangkan kedua, lanjut Andry, aturan ini memberikan kepastian bagi eksportir terkait regulasi pemerintah dalam mengatur arus devisa guna memperkuat ekonomi nasional.
"Namun, kita juga harus melihat risiko dari ketidakpatuhan eksportir. Jika kebijakan ini tidak diimbangi dengan insentif yang menarik, eksportir bisa saja mencari cara untuk menghindari aturan ini," jelasnya.
Namun ia menggarisbawahi, jika insentif yang diberikan tidak cukup menarik, maka ada potensi eksportir menghindari aturan ini.
"Kalau tidak ada instrumen keuangan yang cukup kompetitif, eksportir bisa saja memilih untuk tetap menyimpan devisanya di luar negeri secara ilegal atau melakukan praktik under-invoicing," ungkapnya.
Agar kebijakan ini dapat berjalan dengan efektif dan tidak menimbulkan eksodus eksportir, pemerintah perlu menyediakan insentif yang menarik, seperti:
- Instrumen Keuangan Kompetitif: Pemerintah perlu memastikan bahwa suku bunga dan imbal hasil dari instrumen keuangan dalam negeri cukup menarik agar eksportir mau menyimpan DHE di dalam negeri.
- Penerapan Sanksi yang Berimbang: Sanksi seperti penangguhan layanan ekspor harus diimbangi dengan insentif yang menggiurkan agar eksportir lebih memilih untuk patuh daripada menghindari regulasi.
- Peningkatan Pengawasan dan Transparansi: Sistem pemantauan ketat terhadap transaksi ekspor perlu diperkuat guna menekan praktik under-invoicing dan pengalihan devisa ilegal.
Andry menegaskan bahwa sanksi saja tidak cukup untuk memastikan kepatuhan eksportir. "Sanksi memang diperlukan, tapi lebih penting lagi adalah memberikan insentif yang cukup menggiurkan agar eksportir dengan sukarela menaati peraturan ini," katanya.
(red)