Bloomberg Technoz, Jakarta - Kebijakan tarif impor yang diumumkan Presiden AS, Donald Trump, kembali mengguncang pasar global dan memberikan dampak terhadap perekonomian negara-negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia.
Dengan penerapan tarif 25% untuk Kanada dan Meksiko serta tambahan 10% untuk barang-barang dari China, kebijakan ini berpotensi meningkatkan inflasi di AS dan mempersempit ruang penurunan suku bunga oleh The Fed.
Menurut Arfian Prasetya Aji, Economist KISI Asset Management, kebijakan ini langsung tercermin dalam penguatan Indeks Dolar AS hingga mencapai 109,86, yang sempat membuat rupiah terdepresiasi ke Rp16.483 per dolar AS sebelum akhirnya kembali menguat ke Rp16.371.
"Ketidakpastian ini akan terus membayangi pasar, terutama jika kebijakan tarif impor berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan," kata dia dalam keterangannya, Senin (17/2).
Inflasi di AS tetap tinggi, dengan Personal Consumption Expenditures (PCE) tercatat sebesar 2,6% YoY pada Desember 2024 dan inflasi inti mencapai 2,8% YoY. Hal ini memperkecil kemungkinan The Fed untuk memangkas suku bunga dalam waktu dekat, sehingga imbal hasil obligasi AS (US Treasury Yield) tetap tinggi.
Di sisi lain, inflasi Indonesia pada Januari 2025 justru berada pada level terendah dalam 25 tahun, hanya 0,76% YoY. Namun, jika melihat inflasi inti yang masih tumbuh 2,36% YoY, tekanan harga sebenarnya masih ada.
Arfian menekankan bahwa deflasi lebih banyak disebabkan oleh penurunan harga yang diatur pemerintah, termasuk program diskon tarif listrik yang menyumbang deflasi -6,41% YoY.
Kondisi ini memberi ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk memangkas suku bunga guna mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi kebijakan The Fed yang masih ketat bisa menjadi hambatan.
"Jika The Fed mempertahankan suku bunga tinggi, tekanan terhadap nilai tukar rupiah akan meningkat, yang bisa membatasi langkah BI untuk melonggarkan kebijakan moneter," jelas Arfian.
Di tengah tekanan global, sektor manufaktur Indonesia menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur pada Januari 2025 naik menjadi 51,9 dari sebelumnya 51,2, menandai pertumbuhan selama dua bulan berturut-turut.
"Peningkatan PMI ini menjadi sinyal positif bahwa sektor industri mulai bangkit, didorong oleh permintaan asing yang meningkat dan biaya produksi yang moderat," kata Arfian. Dengan kondisi ini, pertumbuhan industri manufaktur diharapkan dapat meningkatkan perekrutan tenaga kerja dan memberikan dorongan bagi ekonomi nasional pada kuartal pertama 2025.
Dinamika kebijakan ekonomi AS menciptakan tantangan bagi Indonesia dalam menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan stabilitas makro. Arfian menegaskan bahwa pemerintah dan Bank Indonesia perlu memanfaatkan ruang moneter dan fiskal yang ada dengan hati-hati.
"Dengan inflasi domestik yang terkendali, BI memiliki peluang untuk menurunkan suku bunga guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, mereka juga harus mempertimbangkan dampaknya terhadap stabilitas nilai tukar," ujarnya.
Meskipun ketidakpastian global masih tinggi, fundamental ekonomi Indonesia yang cukup solid memberi peluang bagi negara ini untuk tetap bertumbuh. Dengan strategi kebijakan yang tepat, Indonesia dapat memperkuat daya tahan ekonominya dan menjaga momentum pemulihan di tengah gejolak pasar global.
(dhf)