Semula, SPAI mendesak Kemenaker segera membuat regulasi terkait THR bagi pengemudi ojek online, taksi online, dan kurir. Menurut Lily Pujiati, pengemudi ojol, taksol, dan kurir paket berhak menerima THR. THR, kata dia, termasuk dalam hubungan kerja antara aplikator dan pengemudi, yang meliputi unsur pekerjaan, upah, dan perintah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Aturan ini menjadi penting agar THR ojol tidak lagi sebatas janji Kemenaker seperti tahun lalu yang hanya berupa imbauan dan insentif,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (28/1/2025) lalu.
Kementerian Ketenagakerjaan menanggapi hal itu dengan memastikan adanya pembahasan aturan mengenai pemberian THR bagi status pekerja mitra seperti ojol, taksi online, dan kurir.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengatakan Kementeriannya kini tengah mengkaji regulasi tersebut, yang diperkirakan akan rampung dalam dua pekan ke depan.
"Sekarang sedang ada tim yang mengkaji dari regulasi seperti apa. Tenang saja, ini memang kami dalam dua minggu ini kita harus pilah-pilih ini terkait dengan THR," ujarnya di Jakarta, Senin (27/1/2025).
Dalam pembahasan itu, Yassierli mengatakan pemerintah setidaknya mendapatkan sejumlah faktor yang masih menjadi tantangan. Pertama, lanjut dia, perihal landasan hukum pembuatan regulasi. Kedua, perlunya partisipasi kepada perusahaan platform online dan juga para serikat pekerja, termasuk pemangku kepentingan lain.
"Karena isunya regulasinya, harus duduk [bersama], baru kemudian dari situ hasilnya kita akan sounding ke para pengusaha, platform online, seperti apa," kata dia. "Dua minggu ini harus beres."
Dalam perkembangannya, kalangan asosiasi ojol mengaku masih belum mendapat informasi soal janji pemerintah membahas aturan pemberian THR, termasuk taksi online, dan kurir.
Ketua Asosiasi Pengemudi Ojek Online Garda Indonesia, Igun Wicaksono mengatakan hingga saat ini mereka belum pernah diundang untuk berdiskusi mengenai rencana tersebut.
"Kami sebagai Asosiasi Pengemudi Ojol resmi berbadan hukum Negara belum pernah diundang ataupun diajak berdiskusi maupun komunikasi oleh pemerintah maupun Kemnaker [Kementerian Ketenagakerjaan]," ujarnya saat dihubungi, Rabu (5/2/2025).
Igun pun beranggapan jika rencana pemerintah tersebut terbilang belum cukup serius, sekaligus menilai hanya sebagai bualan gimik belaka.
Apalagi, lanjut Igun, seperti perayaan tahun-tahun sebelumnya, rencana ini juga tidak pernah terealisasi meski pejabat setingkat Menteri telah meminta aplikator untuk memberikan THR.
"Kami pesimis pihak aplikator akan mematuhi suatu regulasi yang mana kami sebagai asosiasi pun tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan draft regulasi THR ini," kata dia.
"Walaupun sampai menteri memerintahkan agar ojol diberikan THR namun kenyataannya tidak pernah ada THR diberikan kepada ojol dari perusahaan aplikator."
Maka itu, Igun berharap pemerintah segera melibatkan asosiasi, termasuk para ahli untuk membahas regulasi, yang seharusnya dilakukan kajian akademik terlebih dahulu.
Hal itu perlu dilakukan guna memperkuat landasan hukum yang akan menjadi acuan aplikator untuk mematuhinya. Asosiasi, kata dia, juga terbuka untuk memberikan berbagai masukan.
"Kami akan berikan masukan agar membuka ruang kajian hukum dan teknis terlebih dahulu agar regulasi tidak prematur dan asal jadi kejar target hari raya," tegasnya.
(lav)