Bloomberg Technoz, Jakarta – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai anggapan bahwa komitmen pendanaan iklim Just Energy Transition Partnership (JETP) gagal bagi Indonesia karena hengkanya Amerika Serikat (AS) dari Paris Agreement merupakan hal yang keliru.
Alih-alih, dia berpendapat pemerintah sendiri tidak serius dalam mengupayakan pendanaan transisi energi.
“Kegagalan JETP itu bukan karena AS keluar, tetapi karena pemerintah kita enggak perform. Reformasi kebijakan enggak dilakukan. Tidak menciptakan iklim investasi untuk investor masuk,” kata Fabby saat dihubungi, dikutip Sabtu (15/2/2025).
Fabby menjelaskan 'donatur' asing untuk program transisi energi tidak pernah memberikan uang secara cuma-cuma. International Partners Group (IPG) memberikan dana untuk sejumlah proyek. Kemudian, IPG memberikan hibah sekitar US$300 juta.
Tujuan IPG memberikan hibah tidak lain adalah untuk meningkatkan pembiayaan yang lebih besar lagi. Jika dilihat berdasarkan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) atau dokumen strategis yang disepakati dalam Joint Statement JETP, kebutuhan pendanaan hingga 2030 mencapai US$97 miliar.

“Komitmen pendanaannya [IPG] kan hanya US$21 miliar. Nah, jadi masih ada gap US$76 miliar. Jadi, ujung-ujungnya ya menurut saya, kita enggak perlu pusingin [nasib] si JETP setelah AS keluar atau apa. Namun, hal yang harus dipikirkan adalah bagaimana Indonesia bisa menarik investasi US$76 miliar,” tuturnya.
Fabby berpandangan daripada meributkan Presiden Donald Trump keluar dari Perjanjian Paris—yang berujung pada penarikan diri AS dari komitmen JETP — lebih baik pemerintah ‘memutar otak’ bagaimana bisa mendatangkan investasi untuk proyek transisi energi.
“Karena kalau enggak ada investasi itu, ya sama saja bohong. Enggak akan jalan itu energi terbarukan,” ujarnya.
Kemudahan Regulasi
Di sisi lain, Fabby menyebut pemerintah juga perlu membuat regulasi yang memudahkan bagi para investor agar proyek-proyek energi baru terbarukan (EBT) dapat dilirik oleh investor asing.
“Supaya proyek-proyek yang ditawarkan ke investor tuh laku. Jadi ini jangan pusing sama Amerikanya, menurut saya. Jadi sekarang pemerintah kita, itu Menteri ESDM, Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Bappenas harus berpikir bagaimana kita bisa memperbaiki iklim investasi energi terbarukan sehingga investasi itu bisa masuk,” tuturnya.
“Khususnya investasi asing, karena itu yang bisa membawa pertumbuhan ekonomi.”

Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo sebelumnya menyatakan program komitmen pendanaan transisi energi dalam JETP hanyalah omong kosong belaka dari negara-negara maju. Bahkan, Hashim menyebut JETP merupakan program gagal.
Hashim menegaskan tidak ada sepeserpun dana yang diterima Indonesia dari program JETP selama dua tahun berjalan. Bahkan, komitmen pendanaan JETP turut dihapus pascahengkangnya AS dari Paris Agreement.
"JETP itu program gagal. Dua tahun berjalan, tidak ada satu dolar pun dikucurkan oleh Pemerintah AS, banyak 'omon-omon''ternyata," kata Hashim dalam sesi diskusi yang digelar secara daring, Jumat (31/01/2025).
Dalam komitmen pendanaan dari JETP, Indonesia mendapatkan US$20 miliar yang diumumkan di KTT G-20 pada November 2022. Lebih dari dua tahun berlalu, belum juga nampak tanda-tanda realisasi pembiayaan.
Adik kandung Presiden Prabowo Subianto itu menyebut di dalam klausul yang ia ketahui, terdapat dana hibah US$5 miliar dari komitmen US$20 miliar diberikan secara cuma-cuma. Dana tersebut bakal disalurkan dengan catatan jika anggarannya tersedia.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, lanjutnya, AS tak punya dana untuk menyalurkan hibah tersebut.
"Itu ada klausul dalam JETP itu US$5 miliar akan dihibahkan apabila dana tersedia. Setelah dicek kapan bisa dihibahkan, mereka bilang 'maaf, tidak tersedia'. Ini realitanya yang saya dengar dari kawan-kawan PT PLN," lanjut Hashim.
Di sisi lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya menyebut pendanaan transisi energi dari skema JETP untuk Indonesia baru masuk sebesar US$500 juta atau sekitar Rp8,15 triliun dari total komitmen US$21,6 miliar.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia awal pekan ini menyebut kembalinya Trump ke Gedung Putih mengubah peta dunia terhadap desain energi. Wacana-wacana global terkait dengan transisi dan energi hijau bubar di tengah jalan setelah Trump menarik AS dari Paris Agreement, segera setelah dilantik.
Sejalan dengan hal itu, batu bara sebagai sumber utama bauran energi primer Indonesia mulai kembali mendapatkan perpanjangan napas, setelah sempat dikejar-kejar tuntutan pemadaman pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari pihak-pihak pro-transisi energi.
“Kita pikir batu bara sudah mau selesai, eh bernyawa lagi barang ini. Jadi bapak ibu semua, memang batu bara ini jujur saya katakan harganya jauh lebih murah,” kata Bahlil di sela Mandiri Investment Forum, Selasa (11/2/2025).
“Tadinya dalam RUPTL 2025—20234, saya tidak lagi menyusun [pembangkit] batu bara, tidak lebih dari 7%; itu pun yang sudah berkontrak. Akan tetapi, dengan keluarnya AS dari komitmen Paris Agreement, ya Amerika saja keluar kok, [padahal] dia yang membuat; apalagi Indonesia cuma ikut-ikutan. So?”
(wdh)