Logo Bloomberg Technoz

Nicholas Takahashi - Bloomberg News

Bloomberg, Sejak kejatuhan dramatis CEO Carlos Ghosn pada 2018, Nissan Motor Co terus berjuang menghadapi penurunan penjualan dan lini produk yang ketinggalan zaman.

Pada Desember lalu, Honda Motor Co sempat membuka peluang kerja sama dengan Nissan untuk membentuk salah satu produsen mobil terbesar di dunia—sekaligus memperkuat persaingan melawan merek kendaraan listrik (EV) asal China yang tengah naik daun.

Namun, merger antara dua rival Jepang dengan sejarah dan budaya perusahaan yang berbeda bukanlah hal yang mudah. Honda menetapkan syarat bahwa Nissan harus membereskan masalah internalnya terlebih dahulu sebelum kesepakatan bisa terjadi.

Pada 13 Februari, negosiasi resmi dihentikan akibat perbedaan pandangan mengenai cara menggabungkan kedua bisnis. Kegagalan ini membuka peluang bagi Foxconn, produsen iPhone asal Taiwan, yang telah menyatakan minatnya terhadap Nissan.

Bagaimana Nasib Honda dan Nissan?

Kedua perusahaan berkomitmen untuk melanjutkan kemitraan mereka dengan Mitsubishi Motors Corp dalam pengembangan perangkat lunak, baterai, dan teknologi EV lainnya. Namun, dari segi nilai pasar, Honda memiliki kapitalisasi lebih dari empat kali lipat Nissan. Jika merger terjadi, Honda bisa memperoleh manfaat dari skala ekonomi yang lebih besar dan berbagi teknologi dengan Nissan.

Meski begitu, keduanya tetap akan kesulitan menyaingi produsen kendaraan listrik seperti BYD dan Tesla Inc. Hingga kini, baik Honda maupun Nissan belum mampu menawarkan baterai yang lebih murah dan efisien, serta perangkat lunak canggih seperti yang dimiliki para pesaingnya.

Perbandingan Honda vs Nissan. (Sumber: Bloomberg)

Seberapa Buruk Kondisi Keuangan Nissan?

Didirikan hampir satu abad lalu, Nissan kini tengah mengalami kesulitan finansial. Laba bersih perusahaan anjlok 94% dalam enam bulan hingga 30 September 2024, seiring dengan merosotnya keuntungan di pasar utama seperti AS dan China. Situasi ini membuat Nissan kesulitan untuk membayar obligasi dalam jumlah besar yang akan jatuh tempo pada 2026.

Pada November 2024, Nissan mengumumkan pemangkasan 9.000 pegawai dari total tenaga kerja lebih dari 130.000 orang serta mengurangi kapasitas produksi hingga 20%.

Apa Masalah Utama Nissan?

Penjualan Nissan terus merosot di Jepang, China, dan terutama di AS—pasar terbesarnya. Lini produk yang ketinggalan zaman membuat persediaan kendaraan menumpuk, memaksa perusahaan untuk menurunkan harga.

Nissan pernah menjadi pionir dalam pasar EV dengan peluncuran Leaf, mobil listrik massal pertama di dunia. Namun, sejak saat itu, dua hal terjadi: merek China menghadirkan EV dengan fitur lebih unggul, sementara pasar AS lebih condong ke kendaraan hybrid yang menggabungkan motor listrik dengan mesin konvensional.

Berbeda dengan Toyota yang sukses dengan Prius, Nissan gagal memanfaatkan momentum Leaf untuk tetap unggul di segmen EV maupun mengembangkan teknologi hybrid.

"Ketidakhadiran mobil hybrid adalah satu hal, tapi respons perusahaan terhadap perubahan pasar juga sangat lambat," ujar James Hong, analis di Macquarie Securities Korea Ltd.

Strategi Nissan yang memperpanjang siklus pembaruan model membuat banyak diler terpaksa menawarkan diskon besar demi menarik pelanggan yang beralih ke merek lain. Hingga awal 2025, Nissan masih kekurangan EV dan hybrid generasi terbaru untuk bersaing di pasar China dan AS.

Kapan Masalah Ini Dimulai?

Akar permasalahan Nissan bisa ditelusuri ke krisis keuangan perusahaan pada akhir 1990-an. Saat itu, Renault SA dari Prancis mengambil alih kepemilikan dan mengirim Carlos Ghosn—dikenal sebagai Le Cost Killer—untuk melakukan restrukturisasi.

Ghosn memangkas biaya produksi, menutup pabrik, dan memangkas 21.000 pekerja. Ia juga mempercepat peluncuran model baru untuk meningkatkan pangsa pasar global Nissan. Namun, menurut para analis, strategi ini menekan anggaran inovasi sehingga mobil-mobil Nissan kurang kompetitif dibandingkan pesaingnya.

Demi mencapai target penjualan, Nissan mulai menawarkan insentif besar kepada pelanggan, terutama di AS, serta menjual lebih banyak kendaraan ke perusahaan rental, yang pada akhirnya menggerus profitabilitas.

Selain itu, Nissan gagal memanfaatkan aliansinya dengan Renault untuk berkolaborasi lebih dalam dalam pengembangan produk. Kemitraan ini mulai retak pada 2018 ketika Ghosn ditahan di Jepang atas dugaan kejahatan keuangan. Sejak itu, Nissan terus bergulat dengan lemahnya inovasi pada lini produknya.

Apa Masalah dengan EV Nissan?

Dibandingkan model terbaru, Leaf memiliki jangkauan berkendara yang lebih terbatas. Mobil ini juga menggunakan konektor pengisian daya CHAdeMO, yang dikembangkan bersama produsen mobil Jepang lainnya. Namun, standar ini tidak diadopsi oleh pesaing di AS. Kini, sistem pengisian daya yang digunakan BYD dan Tesla telah menjadi standar utama di berbagai pasar global.

Di China, Nissan juga kesulitan bersaing karena produsen lokal semakin agresif menambahkan fitur-fitur teknologi canggih yang menarik bagi konsumen.

Mengapa Nissan Belum Bisa Mengatasi Masalah Ini?

Budaya bisnis Nissan yang konservatif serta seringnya pergantian kepemimpinan membuat perusahaan sulit merancang dan mengeksekusi strategi jangka panjang.

Pengganti Ghosn, Hiroto Saikawa, mengundurkan diri sebagai CEO pada 2019 akibat skandal terkait kompensasi berlebih. Beberapa eksekutif lain juga meninggalkan perusahaan di tengah kekacauan tersebut.

Pada 11 Desember 2024, Nissan kembali melakukan perombakan manajemen. Makoto Uchida tetap menjabat sebagai CEO, sementara Jeremie Papin ditunjuk sebagai Chief Financial Officer (CFO). Namun, tanpa perubahan signifikan dalam strategi bisnis, masa depan Nissan masih penuh ketidakpastian.

(bbn)

No more pages