Bloomberg Technoz, Jakarta – Pemerintah berencana melakukan evaluasi terhadap kepatuhan setoran pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari perusahaan-perusahaan tambang, sebelum memutuskan rencana volume produksi bijih nikel untuk tahun ini.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tri Winarno mengatakan sejauh ini pemerintah belum akan merevisi rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) pertambangan nikel yang sudah ditetapkan sebelumnya sebanyak 240 juta ton.
Namun, dia tidak menutup kemungkinan rencana produksi bijih nikel Indonesia akan mengalami penyesuaian ke depannya agar lebih selaras dengan kondisi permintaan. Hal ini pada ujungnya diharapkan dapat menaikkan komoditas mineral logam andalan Indonesia itu.
“Kita juga melakukan evaluasi terhadap kepatuhan yang lain. Misalnya terkait dengan PNBP-nya perusahaan gimana sih? Terus kemudian terkait dengan reklamasi pascatambangnya. Dengan demikian, evaluasi ini kita lakukan secara komprehensif,” ujarnya ditemui di kantor Kementerian ESDM, Jumat (14/2/2025).
Sekadar catatan, setoran PNBP subsektor mineral dan batu bara (minerba) atau pertambangan mencapai Rp140,5 triliun pada 2024, menyumbang 46,79% dari total PNBP sektor ESDM yang mencapai Rp269,5 triliun sepanjang tahun lalu.

Tri mengatakan pemerintah pada dasarnya menginginkan agar harga nikel bagus di pasaran, salah satunya dengan melakukan evaluasi terhadap rencana produksi.
Pemerintah, lanjutnya, tidak menginginkan rencana produksi yang tidak seimbang dengan kondisi permintaan.
“Akan tetapi, kita lihat dahulu. Benar tidak [harga nikel jatuh] karena supply-demand tidak imbang? Begitu suplainya tinggi, demand-nya kurang, kan pasti harga turun. Pun kalau misalnya demand-nya tinggi, suplainya kurang, harga naik. Nah ini lagi dicoba di-exercise. Sebetulnya [nikel] ini murah kenapa sih? Kita evaluasi.”
Nikel hari ini diperdagangkan di US$15.374/ton di London Metal Exchange (LME), melemah 0,30% dari bulan sebelumnya. Namun, harga nikel—yang mencapai puncaknya di atas US$100.000 per ton pada 2022 selama periode short squeeze yang terkenal — mengalami tren penurunan sekitar 8% tahun ini.
Tri awal bulan ini sempat mengatakan target produksi bijih nikel dibidik sebanyak 220 juta ton sepanjang tahun ini, atau lebih rendah dari yang dicanangkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 240 juta ton.
Tri menggarisbawahi target produksi yang ditetapkan oleh pemerintah ini berbeda dengan target yang telah berada di kuota RKAB.
Kuota RKAB, kata dia, pasti lebih besar target yang ditetapkan oleh otoritas pertambangan negara. Pasalnya, RKAB terkadang kerap meleset lantaran adanya kendala sengketa lahan perusahaan.
"Jadi bedakan antara RKAB dengan target produksi. Karena, biasalah, terjadi dispute, misal sekarang sudah mengajukan RKAB, tetapi lahannya enggak bisa dibebaskan," ujar Tri, seraya memastikan pemerintah kini akan tetap mengevaluasi RKAB yang telah disetujui periode 2024—2026.
Sekadar catatan, pemerintah pada Agustus 2024 resmi menetapkan RKAB nikel sebanyak 240 juta ton bijih pada 2024.
Selain itu, periode 2024—2026, Kementerian ESDM juga telah menyetujui sebanyak 292 permohonan RKAB pertambangan nikel, tetapi hanya 207 di antaranya yang diizinkan berproduksi.
(wdh)