Bloomberg Technoz, Jakarta – The Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) memproyeksikan pertumbuhan permintaan minyak dunia pada 2025 tidak berubah dari posisi 1,4 juta barel per hari (bph); laju pertumbuhan yang bakal terus stagnan hingga 2026.
Kelompok negara pengekspor minyak tersebut menggarisbawahi adanya risiko terhadap pasar komoditas energi akibat kebijakan perdagangan internasional Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada tahun ini.
“Kebijakan perdagangan Pemerintah AS yang baru telah menambah lebih banyak ketidakpastian di pasar, yang berpotensi menciptakan ketidakseimbangan penawaran-permintaan yang tidak mencerminkan fundamental pasar, dan karenanya menghasilkan lebih banyak volatilitas,” papar organisasi tersebut dalam laporan pasar minyak bulanannya, Kamis (13/2/2025).

Tahun ini, permintaan minyak dari negara anggota OECD diestimasikan tumbuh sekitar 0,1 juta bph secara year on year (yoy), sedangkan dari negara non-OECD diperkirakan tumbuh sekitar 1,3 juta bph.
“Pertumbuhan permintaan minyak yang kuat ini diperkirakan akan berlanjut pada 2026. Permintaan minyak global untuk 2026 diperkirakan tumbuh sebesar 1,4 juta bph yoy, tidak berubah dari penilaian bulan lalu,” tulis OPEC.
Dari sisi suplai, pasokan minyak dari negara yang tidak mengikuti kesepakatan OPEC atau non-declaration of cooperation (DoC) diramal tumbuh 1 juta bph yoy pada 2025, direvisi turun sebesar 0,1 juta bph dari penilaian bulan lalu.

Pendorong pertumbuhan utama pasokan minyak dunia tahun ini diharapkan berasal dari AS, Brasil, Kanada, dan Norwegia. Pertumbuhan pasokan cairan non-DoC pada 2026 juga diperkirakan sebesar 1 juta bph, terutama didorong oleh AS, Brasil, dan Kanada.
Di sisi lain, pasokan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) dan minyak nonkonvensional (MNK) dari anggota OPEC diperkirakan tumbuh sekitar 80 juta bph yoy, pada 2025, menjadi rata-rata 8,4 juta bph, diikuti oleh peningkatan sekitar 0,1 juta bph yoy pada 2026 menjadi rata-rata 8,5 juta bph.
“Produksi minyak mentah oleh negara-negara yang berpartisipasi dalam DoC menurun sebesar 118 juta bph pada Januari secara month to month [mtm], dengan rata-rata sekitar 40,62 juta bph, sebagaimana dilaporkan oleh sumber sekunder yang tersedia,” papar organisasi yang berbasis di Wina, Austria itu.

Dalam beberapa pekan ke depan, OPEC+ yang mencakup Arab Saudi dan Rusia, diagendakan untuk memutuskan apakah mereka akan melanjutkan rencana produksi yang terhenti sejak April 2024, setelah tertunda sebanyak tiga kali.
OPEC+ telah menahan pasokan sejak 2022 dalam upaya untuk menopang harga.
Akhir bulan lalu di World Economic Forum (WEF), Davos, Swiss; Trump mendesak OPEC+ untuk "menurunkan biaya minyak," dengan mendorong peningkatan produksi crude sebagai cara untuk meningkatkan tekanan pada Rusia dan membantu mengakhiri perang yang telah berlangsung hampir tiga tahun di Ukraina.
"Jika harga [minyak] turun, perang Rusia-Ukraina akan segera berakhir. Saat ini, harganya cukup tinggi sehingga perang akan terus berlanjut," kata Trump kepada para pemimpin dunia yang berkumpul di forum tersebut, Kamis (23/1/2025).
Permohonan Trump untuk meningkatkan produksi minyak Timur Tengah muncul saat dampak sanksi baru terhadap sektor energi Rusia—yang diberlakukan beberapa hari sebelum dia menjabat, tepatnya 10 Januari 2025, oleh mantan Presiden Joe Biden — mulai terasa.
Tarik-Ulur
Berbagai pakar komoditas yang dikoleksi oleh S&P Global menilai OPEC dan sekutunya kemungkinan tidak akan tertarik untuk mengindahkan seruan Trump di tengah situasi pasokan minyak dunia yang saat ini saja sudah meluber.
“Tidak jelas apakah Saudi akan berbuat banyak tanpa mengambil risiko harga jatuh di bawah zona nyaman mereka," kata David Goldwyn, Presiden Goldwyn Global Strategies dan Ketua Kelompok Penasihat Energi Pusat Energi Global Dewan Atlantik dalam catatan S&P Global Commodity Insights, akhir Januari.
Sementara itu, Wakil Presiden Penelitian untuk S&P Global Comodity Insights Jim Burkhard berpendapat Trump mau agar harga minyak Timur Tengah bergerak di bawah ambang batas yang dapat menyebabkan OPEC+ mulai menormalisasi pasokan barelnya sesuai rencana.
"Bagaimana Pemerintahan Trump yang baru dan para pemimpin OPEC+ mengelola kepentingan ekonomi dan geopolitik mereka yang berbeda akan menjadi kunci apakah OPEC+ [bersedia] meningkatkan produksi di harga US$70-an atau tidak sampai harga berada di US$80-an atau lebih tinggi," katanya.

Pakar lainnya, Rachel Ziemba—penasihat senior Horizon Engage — menilai permintaan Trump kepada OPEC dan Arab Saudi merefleksikan tujuan kebijakan AS yang saling bertentangan.
Di satu sisi, menurutnya, Trump menginginkan harga minyak yang lebih murah. Di sisi lain, dia juga ingin menggunakan sanksi energi sebagai alat politik, terutama yang berkaitan dengan Iran.
Meskipun Trump secara resmi masih bungkam tentang kebijakan Iran, dia secara luas diyakini bakal kembali memberikan tekanan maksimum berupa sanksi minyak yang lebih keras terhadap Teheran.
Perlu diingat, pada masa jabatan pertama Trump, sanksi ketat mendorong produksi minyak mentah Iran hingga serendah 2 juta barel per hari.
Namun, produksi Iran berbalik meningkat selama pemerintahan Joe Biden, dengan capaian 3,22 juta barel per hari per Desember 2024, mengutip survei Platts OPEC+ terbaru dari Commodity Insights.

Ziemba menambahkan OPEC kemungkinan tidak akan berbuat banyak untuk menyanggupi permintaan Trump dalam waktu dekat. Kelompok tersebut sepertinya akan menunggu untuk melihat apakah ada kekurangan suplai minyak dunia, di tengah upaya berbagai negara untuk menggantikan pasokan minyak dari Rusia dan Iran.
Pada akhirnya, OPEC kemungkinan akan fokus pada kepentingan jangka panjangnya, termasuk menjaga keterlibatan Rusia dalam kebijakan OPEC+.
"Jadi, jika Trump menindaklanjuti rencana sanksi terhadap Iran dan Irak karena menyelundupkan minyak Iran, dan ada kekurangan yang sebenarnya, maka [Arab Saudi] kemungkinan akan memompa lebih banyak atau tetap pada rencana yang telah lama ditangguhkan untuk memasok lebih banyak, tetapi mereka akan berhati-hati," kata Ziemba.
Senada, Presiden Transversal Consulting dan Peneliti Senior Atlantic Council, Ellen Wald, menilai OPEC kemungkinan tidak akan menanggapi permintaan Trump.

OPEC akan berpendapat bahwa prakiraan permintaan minyak dunia saat ini tidak menunjukkan perlunya meningkatkan pasokan dalam waktu dekat, tetapi OPEC siap untuk meningkatkan pasokan dalam waktu singkat jika kondisi pasar membutuhkannya.
"Arab Saudi mungkin akan menanggapi bahwa karena AS saat ini merupakan produsen minyak terbesar di dunia, mungkin Presiden Trump harus meminta perusahaan minyak domestik untuk memangkas harga bagi konsumen Amerika, tetapi kesembronoan semacam itu mungkin tidak akan diterima dengan baik oleh Trump," katanya.
Bagaimanapun, ada kemungkinan juga bahwa Arab Saudi akan secara pribadi menekan pemerintahan Trump untuk memberlakukan sanksi terhadap minyak Iran dengan lebih ketat.
Sebagai gantinya, Saudi bisa menawarkan untuk kembali memproduksi minyak yang telah secara sukarela dikeluarkan dari pasar bersama dengan jaminan bahwa OPEC akan meningkatkan produksi seperti yang direncanakan pada kuartal kedua, kata Wald.
"Ini dapat mengakibatkan penurunan harga bersih karena lebih banyak minyak di pasar, tetapi dengan keuntungan pendapatan bagi Arab Saudi karena akan memiliki pangsa pasar yang lebih besar," kata Wald.
(wdh)