Bloomberg Technoz, Jakarta - Dua sentimen negatif sekaligus tengah menghampiri emiten tambang PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS).
Selain gagal menjadi konstituen Indeks MSCI, isu pelanggaran praktik penambangan yang dilakukan BRMS kini muncul.
Pada 10 Februari 2025, sekelompok masyarakat melakukan demonstrasi di kantor operasi anak usaha BRMS, PT Citra Palu Minerals (CPM).
Kelompok yang mengatasnamakan Front Pemuda Kaili memprotes karena operasional tambang yang dilakukan CPM akan membahayakan lingkungan, merusak sungai, dan mengakibatkan penurunan muka tanah.
Tambang tersebut juga dinilai berbahaya karena dilakukan di area rawan gempa.
Isu BRMS kemudian sampai ke telinga Anggota Komisi XII DPR Mukhtaruddin. Dia meminta Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian Energi & Sumber Daya Mineral (ESDM) turun tangan menelisik dugaan rusaknya lingkungan imbas penambangan emas CPM.
Respons BRMS
Direktur & Sekretaris Perusahaan BRMS Muhammad Sulthon menampik jika operasional tambang emas CPM merusak lingkungan.
Menurutnya, CPM sebelumnya telah melakukan analisis dampak lingkungan dalam kegiatan pertambangan. Analisa dilakukan baik untuk metode penambangan terbuka (open pit), maupun bawah tanah (underground mine).
"Kami juga sudah memperoleh persetujuan lingkungan hidup berdasarkan Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan mengenai kelayakan lingkungan hidup, rencana penambangan, dan pengolahan emas," jelas Sulthon dalam keterbukaan informasi, dikutip Kamis (13/2/2025).
Izin itu tertuang dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup & Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.1294/MENLHK/SETJEN/PLA.4/12/2023 tanggal 6 Desember 2023 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Kegiatan Penambangan & Pengolahan Emas di Blok I Poboya.
Shulton menambahkan, dalam melakukan aktivitas penambangan terbuka dan bawah tanah tersebut, CPM sudah mengantongi persetujuan dari instansi pemerintah terkait, seperti perizinan kontrak karya, persetujuan operasi produksi, persetujuan studi kelayakan, persetujuan lingkungan hidup (AMDAL), perizinan penggunaan bahan peledak, dan izin-izin lainnya untuk pengoperasian tambang terbuka dan bawah tanah.

"Operasional tambang kami juga dilaksanakan berdasarkan studi lengkap, dan dijalankan oleh para tenaga ahli, sehingga dampak kegiatan perusahaan bisa diminimalkan atau bahkan dihilangkan," kata Shulton.
"Kegiatan penambangan, dan pengoperasian fasilitas pemrosesan bijih emas oleh CPM masih terus berlangsung dan diharapkan dapat menunjukkan peningkatan di tahun 2025 ini dari tahun sebelumnya."
Gagal Masuk MSCI
Sentimen berikutnya terkait MSCI, yang tidak memasukkan saham BRMS ke dalam daftar MSCI Mid Cap Index, usai rebalancing periode Februari.
MSCI kemarin mengumumnkan hasil rebalancing. Tidak ada satu pun saham emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang masuk sebagai konstituen MSCI Global Standar Indexes.
Alih-alih ada anggota baru, MSCI justru mendepak tiga konstituen sebelumnya, yakni saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP), dan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA).
Saham yang naik kelas juga nihil. Padahal, BRMS sebelumnya menjadi salah satu kandidat kuat sebagai konstituen Indeks MSCI Mid Cap Index.
"Kami memproyeksikan market cap saat cutoff [rebalancing Indeks MSCI] diprediksi naik menjadi US$1,52 miliar karena MSCI World Index naik 2% dalam tiga bulan terakhir," tulis Analis Verdhana Sekuritas Nicholas Goei dalam risetnya beberapa waktu lalu.
Sementara itu, saham BRMS kala itu diperdagangkan di kisaran Rp400/saham dengan market cap keseluruhan sekitar Rp60,75 triliun.
Sementara, market cap berdasarkan free float saham BRMS yang sebesar 35%, maka market cap senilai Rp21,22 triliun atau setara sekitar Rp1,31 miliar.
"Oleh karena itu, harga saham BRMS perlu bertahan di atas Rp485/saham untuk bisa dipertimbangkan masuk menjadi konstituen MSCI Indonesia Standard Index."
(red)