Bloomberg Technoz, Jakarta – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengatakan rencana larangan ekspor mineral bijih (ore) yang diajukan oleh parlemen Filipina mulai Juni 2025 dapat memengaruhi industri nikel di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Anggota Dewan Penasihat Pertambangan APNI Djoko Widajatno meyakini, dengan berkurangnya pasokan nikel dari Filipina, harga nikel global dapat meningkat. Hal ini akan menguntungkan Indonesia karena Filipina dapat memperoleh harga yang lebih tinggi untuk ekspor nikel.
Djoko juga menyebut jika Filipina mengurangi atau menghentikan ekspor nikel, industri nikel Indonesia bisa mendapatkan lebih banyak perhatian dan investasi dari perusahaan-perusahaan internasional yang mencari sumber nikel alternatif.
“Indonesia yang kaya akan cadangan nikel dapat memanfaatkan peluang ini untuk memperkuat industrinya,” kata Djoko saat dihubungi, Rabu (12/2/2025).

Larangan ekspor dari Filipina, kata dia, juga dapat mengubah dinamika pasokan dan permintaan nikel mentah.
Nikel hari ini dilego di harga US$15.538/ton di London Metal Exchange (LME), menguat 0,10% dari bulan sebelumnya. Namun, harga nikel—yang mencapai puncaknya di atas US$100.000 per ton pada 2022 selama periode short squeeze yang terkenal — mengalami tren penurunan sekitar 8% tahun ini.
Penyesuaian Proyek
Di sisi lain, Djoko menilai kemungkinan nantinya akan ada penyesuaian dalam proyek pengolahan nikel di Indonesia yang lebih fokus pada hilirisasi lebih lanjut untuk memenuhi permintaan dari sektor baterai kendaraan listrik agar makin berkembang.
Kebijakan Filipina itu juga akan berpengaruh terhadap regulasi komoditas pertambangan di Indonesia. Djoko berpandangan Indonesia perlu memerhatikan kebijakan perdagangan dan regulasi ekspor dalam menghadapi kemungkinan lonjakan permintaan.
“Pemerintah Indonesia dapat memperkuat kebijakan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, pengolahan dalam negeri, dan penciptaan nilai tambah dari produk nikel,” tuturnya.
Dia menggarisbawahi dampak tersebut akan sangat bergantung pada sejauh mana larangan ekspor Filipina dapat diterapkan, serta respons dari pasar global terhadap perubahan pasokan nikel dari Asia.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tri Winarno mengungkapkan pemerintah tengah mencermati dampak rencana Filipina melarang ekspor mineral bijih atau ore mulai Juni 2025.
Terlebih, Indonesia masih mengimpor bijih nikel dari negara tersebut untuk memenuhi kebutuhan smelter.
“Kalau dampak, kita memang ada impor untuk yang nikel dari Filipina. Akan tetapi, kalau misalnya nanti Filipina melarang ekspornya betul, ya kita exercise lah seperti apa pasnya di kita,” kata Tri saat ditemui di Kementerian ESDM, Jumat (7/2/2025).
Tri menyebut jika larangan itu terjadi, bukan hanya permintaan dan penawaran bijih nikel Indonesia saja yang akan terdampak, tetapi kondisi lain yang tidak terduga bisa terjadi imbas pernyataan terbaru Kongres Filipina tersebut.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, volume impor bijih nikel dan konsentrat (ore nickel and concentrates) dengan kode HS 26040000 dari Filipina pada November 2024 mencapai sebanyak 42,3 juta ton. Dari jumlah tersebut, impor bijih nikel di Morowali tercatat mencapai 10,5 juta ton dan Weda 31,8 juta ton.
Sementara itu, smelter nikel yang beroperasi saat ini sebanyak 49 rotary kiln-electric furnace (RKEF) dan 5 high pressure acid leach (HPAL) dengan kebutuhan 290 juta ton bijih nikel.
Adapun, produksi bijih nikel Indonesia dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) pertambangan nikel yang diizinkan sebanyak 240 juta ton bijih pada 2024.

Pekan lalu, Filipina menyatakan rencana untuk meratifikasi rancangan undang-undang (RUU) yang bakal melarang ekspor mineral mentah paling cepat pada Juni 2025. Ini merupakan sebuah rencana, yang menurut para investor, dapat menyebabkan gelombang penutupan tambang di negara tersebut.
Kongres Filipina telah reses pada pekan ini dan sesi akan dilanjutkan pada Juni, tetapi Presiden Senat Francis Escudero berharap akan ada pertemuan komite bikameral dengan anggota dari Senat dan DPR untuk membahas RUU tersebut.
Pemerintah Filipina mengakui ingin mengadopsi keberhasilan pemasok nikel No. 1 dunia, Indonesia, dalam meningkatkan pendapatan pertambangan.
Indonesia sudah lebih dahulu menerapkan larangan ekspor bijih logam sejak 2020 dan meningkatkan nilai ekspor nikelnya dari US$3 miliar menjadi US$30 miliar dalam dua tahun karena perusahaan-perusahaan China membangun smelter di negara ini.
Filipina dapat mengikuti jejak Indonesia, menurut Escudero, sebagai sebuah contoh negara kaya sumber daya yang mendorong nilai lebih dari mineralnya. Kurang dari 3% dari 9 juta hektare (22 juta hektare) lahan yang diidentifikasi oleh Pemerintah Filipina sebagai lahan dengan cadangan mineral tinggi saat ini sedang ditambang.
(mfd/wdh)