Bloomberg Technoz, Jakarta - Kondisi keuangan konsumen di Tanah Air sedang tidak baik-baik saja. Rasio tabungan turun ketika konsumsi juga melemah. Pada saat yang sama, rasio utang masyarakat juga naik ke level tertinggi sejak Februari 2021, atau dalam empat tahun terakhir.
Survei Konsumen edisi Januari yang dirilis oleh Bank Indonesia menunjukkan, rasio utang (debt to income ratio) yang mencerminkan nilai pendapatan masyarakat yang digunakan untuk membayar cicilan utang menyentuh 11,1%. Angka itu menjadi yang tertinggi sejak Februari 2021, di kala perekonomian diterjang pandemi Covid-19.
Sementara rasio tabungan (saving to income ratio) tercatat turun ke level terendah sejak November. Alokasi tabungan yang menurun di tengah beban pembayaran utang yang naik, membuat konsumsi masyarakat tersendat. Proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi (average propensity to consume ratio) turun pada Januari, ke level terendah dalam enam bulan atau sejak Agustus 2024.
Melihat kelas konsumen, terlihat bahwa yang mengalami tekanan konsumsi terbesar adalah konsumen dengan pengeluaran menengah yakni Rp3,1 juta-Rp5 juta, yang jatuh ke level terendah sejak November. Bahkan, pada konsumen terbawah dengan pengeluaran Rp1 juta-Rp2 juta, konsumsi mereka tertekan hingga ke level terendah sejak Agustus 2024.

Sementara kelompok konsumen yang paling banyak mengurangi alokasi tabungan adalah konsumen kelas atas yang memiliki pengeluaran di atas Rp5 juta. Rasio tabungan kelompok ini jatuh ke level terendah sejak Juli 2024.
Pada saat yang sama, kenaikan rasio utang terjadi merata di semua kelompok pengeluaran. Namun, lonjakan rasio utang terbesar terjadi pada kelompok konsumen dengan pengeluaran menengah yakni antara Rp3,1 juta-Rp4 juta.
Rasio utang kelompok ini mencapai 13,2% pada Januari, menjadi level tertinggi sejak Februari 2020, persis ketika pandemi akan meletus dan mematikan perekonomian di hampir semua negara. Kala itu, rasio utang konsumen kelas ini menyentuh 13,5%.
Jurus Prabowo
Kondisi keuangan masyarakat yang makin terkuras beban cicilan hingga mengurangi konsumsi dan memakan tabungan, selayaknya menjadi peringatan bagi para pembuat kebijakan. Tingkat keyakinan konsumen turun karena keraguan akan ada perluasan lapangan kerja di masa mendatang.
Kepercayaan konsumen yang lebih rendah akan mendorong konsumen berbelanja lebih sedikit, demikian juga sebaliknya. Ketika konsumen mengurangi belanja, dampaknya bisa jauh terhadap pertumbuhan ekonomi domestik mengingat konsumsi rumah tangga adalah mesin utama pertumbuhan.

Situasi itu masih ditambah pula dengan akrobat kebijakan yang memicu keresahan di kalangan akar rumput, bahkan di beberapa tempat telah memicu kasus pemutusan hubungan kerja (PHK).
Langkah Presiden Prabowo Subianto memangkas anggaran hingga Rp306 triliun, yang menuai protes keras dari kalangan penggawa pemerintahan, diperkirakan bisa membawa pertumbuhan makin terpuruk.
Kebijakan itu dinilai tidak sepadan ketika ditujukan untuk memprioritaskan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diperkirakan hanya akan menyumbang Produk Domestik Bruto sebesar 0,7% saja tahun ini.
Kebijakan itu juga dianggap kontradiktif di tengah keputusan Prabowo menggelembungkan jumlah nomenklatur Kementerian/Lembaga yang memicu pembengkakan anggaran untuk biaya gaji dan tunjangan pejabat baru.
Hitungan ekonom, pemangkasan belanja baik di Pemerintah Pusat dan Daerah bisa menyeret Produk Domestik Bruto tahun ini tumbuh di bawah 5%.
Lebih-lebih, efek dari pemangkasan anggaran tersebut, sejauh ini telah membuat banyak tenaga kerja di sektor pemerintahan kehilangan pekerjaan.
Pekerjaan yang hilang berarti pendapatan untuk belanja tidak ada. Bila pemutusan hubungan kerja terjadi dalam jumlah banyak, pertumbuhan konsumsi rumah tangga bisa kian terperosok.

Sebagai gambaran, ketika terjadi PHK melanda 77.965 orang pada 2024 yang mencerminkan lonjakan 20% kasus dibanding tahun 2023, konsumsi rumah tangga Indonesia terperangkap di bawah 5%, tepatnya hanya tumbuh 4,94% year-on-year.
Padahal konsumsi rumah tangga adalah motor utama ekonomi Indonesia dengan kontribusi terhadap PDB lebih dari 54,04% tahun lalu.
Di sisi lain, berbagai kebijakan populis Prabowo, mulai dari pembatalan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pemberian insentif diskon tarif listrik, penghentian upaya pembatasan gas bersubsidi, hingga memperluas cakupan program MBG yang membengkakkan anggaran Rp100 triliun tahun ini, dinilai sulit berkelanjutan karena pada dikhawatirkan akan menggoyahkan disiplin fiskal.
(rui/aji)