Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Pendirian Indonesia terhadap upaya transisi energi makin buram setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengisyaratkan bakal mengikuti langkah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk fokus pada energi fosil.

Bahlil tidak menampik kembalinya Trump ke Gedung Putih mengubah peta dunia terhadap desain energi. Wacana-wacana global terkait dengan transisi dan energi hijau bubar di tengah jalan setelah Trump menarik AS dari Paris Agreement, segera setelah dilantik.

Sejalan dengan hal itu, batu bara sebagai sumber utama bauran energi primer Indonesia mulai kembali mendapatkan perpanjangan napas, setelah sempat dikejar-kejar tuntutan pemadaman pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari pihak-pihak pro-transisi energi.

“Kita pikir batu bara sudah mau selesai, eh bernyawa lagi barang ini. Jadi bapak ibu semua, memang batu bara ini jujur saya katakan harganya jauh lebih murah,” kata Bahlil di sela Mandiri Investment Forum, dikutip Rabu (12/2/2025).

“Tadinya dalam RUPTL 2025—20234, saya tidak lagi menyusun [pembangkit] batu bara, tidak lebih dari 7%; itu pun yang sudah berkontrak. Akan tetapi, dengan keluarnya AS dari komitmen Paris Agreement, ya Amerika saja keluar kok, [padahal] dia yang membuat; apalagi Indonesia cuma ikut-ikutan. So?” 

Bahlil di Mandiri Investment Forum 2025 (YouTube Bank Mandiri)

Bahlil meyakinkan bahwa baseline kelistrikan Indonesia berbeda dengan negara-negara maju, yang selama ini getol menyerukan transisi energi. Negara maju memiliki modal dan teknologi yang lebih mumpuni untuk mengembangkan energi baru terbarukan (EBT).

“Negara kita belum coy, masih butuh penyesuaian. Nah kalau ada barang ada yang lebih murah, kenapa harus cari yang mahal? Saya pakai logika akal sehat aja,” tuturnya.

Dorong EBT

Bagaimanapun, Bahlil menegaskan Indonesia akan tetap mendorong EBT sebagai bagian terpenting dari sebuah implementasi konsensus Net Zero Emission pada 2060. 

Akan tetapi, dia menolak jika upaya transisi energi dan pengembangan EBT di Indonesia diintervensi sesuai target yang diinginkan negara maju.

“Kita orang Indonesia, jangan ajarkan kami komitmen, karena hutan-hutan kami ini masih banyak sekali. Kami itu penyuplai CO2 itu 3 ton per kapita. Kalau yang lain sudah ada yang lebih dari 10, 20, 30 ton per kapita karena hutannya sudah ditebang duluan, habis duluan,” ujar Bahlil.

“Pada saat mereka [negara maju] tebang hutannya, tidak ada yang protes mereka. Begitu sudah selesai, mereka mulai intercept negara-negara berkembang agar tidak boleh menebang hutannya. Oke, kami jaga hutan kami, tetapi kalian yang hutannya sudah habis ini bayar karbon kami juga dengan baik dong. Jangan mau bayar kami murah, kalian mau mahal. Begitu kita tanya kenapa harga kami lebih murah, kalian lebih mahal, katanya investasinya di sana lebih mahal di sana. Ya kalau gitu kita selesaikan dahulu hutan kita, kan kira-kira begitu logikanya.”

Investasi transisi energi. (Sumber: Bloomberg)

Bulan lalu, Trump menghentikan sebagian bantuan keuangan AS yang bertujuan membantu negara berkembang dan negara berpendapatan menengah menghadapi ancaman perubahan iklim, dan memulai proses penarikan diri dari Perjanjian Paris untuk kedua kalinya.

Langkah ini menunjukkan niat AS untuk melepaskan peran dalam mendorong pengurangan emisi global. Penarikan AS dari diplomasi iklim, serta sebagai sumber pendanaan, mengancam untuk menambah komplikasi baru pada rencana Just Energy Transition Program (JETP).

Lantas, beberapa negara maju—termasuk Jerman dan Jepang — berupaya memperkuat program yang ditujukan untuk memberikan sekitar US$45 miliar guna membantu negara-negara berkembang beralih dari bahan bakar fosil, seiring dengan mundurnya AS dari peran kepemimpinan dalam isu ini.

Perundingan antara mitra internasional sedang berlangsung untuk mempertahankan momentum dalam kesepakatan JETP yang digagas di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden.

Kesepakatan ini melibatkan Indonesia, Vietnam, dan Afrika Selatan, menurut beberapa sumber yang familiar dengan perincian pembicaraan tersebut kepada Bloomberg.

Jerman akan menggantikan AS sebagai pemimpin bersama dalam upaya untuk mengamankan sekitar US$20 miliar yang akan mendukung transisi energi Indonesia yang bergantung pada batu bara, demikian disampaikan Kementerian Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Federal Jerman dalam sebuah pernyataan.

Para pendukung global program JETP berencana untuk mengevaluasi potensi dampak finansial jika AS menarik dukungannya terhadap program tersebut, kata sumber-sumber tersebut yang meminta namanya dirahasiakan untuk membahas pembicaraan internal.

“Dampaknya masih dapat dikelola, asalkan negara-negara lain tetap melanjutkan komitmennya,” kata Putra Adhiguna, Direktur Utama Energy Shift Institute yang berbasis di Jakarta, sebuah lembaga think tank yang berfokus pada Asia.

(wdh)

No more pages