Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut kinerja produksi minyak nasional terjungkir-balikkan sejak era reformasi, terutama setelah Indonesia menerima nasihat dari IMF untuk sektor migas.

Menurut Bahlil, Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) adalah instansi yang bertanggung jawab atas rekomendasi agar Indonesia merevisi Undang-undang Migas.

Reformasi konstitusi soal migas terjadi pada 2001, seiring dengan berlakunya Undang-undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).

UU tersebut memberikan liberalisasi di sektor migas Tanah Air, sehingga menjadikan perusahaan pelat merah Indonesia—dalam hal ini PT Pertamina (Persero) — harus berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan migas lainnya secara sehat dan wajar, termasuk di bisnis hilir migas.

“Pada era reformasi, seiring waktu berjalan, banyak perubahan yang kita lakukan termasuk rekomendasi IMF. Ketika kita mau dibantu, dokternya itu IMF. Dokternya itu agak salah-salah juga, saya mau buktikan,” kata Bahlil di sela Mandiri Investment Forum 2025, dikutip Rabu (12/2/2025).

“Dia suruh kita untuk mengubah UU Migas. Apa yang terjadi? Tren lifting kita pasca-1996—1997 itu menurun terus. Kemudian, sampai 2008, kita agak naik sedikit karena kita dapat [Lapangan] Banyu Urip sampai dengan 2016.”

Pengboran minyak baru di Blok Cepu oleh ExxonMobil./dok. SKK Migas

Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu yang dioperatori oleh ExxonMobil Cepu Ltd memiliki rata-rata produksi sebesar 140.000 barel per hari (bph) per 2023.

Setelah bertahun-tahun menjadi penghasil minyak terbesar RI, kinerja Banyu Urip yang dikelola asing digeser oleh Blok Rokan di tangan PT Pertamina Hulu Rokan yang mampu menghasilkan 167.000 bph minyak pada akhir 2023 dan 160.000 bph pada 2024.

Tanpa mengelaborasi lebih jauh tentang bagaimana reformasi UU Migas menyebabkan penurunan kinerja produksi minyak Indonesia, Bahlil mengatakan lifting minyak nasional saat ini sudah tidak lebih dari 600.000 bph. 

“Konsumsi minyak Indonesia sekarang 1,5 juta—1,6 juta bph. Jadi kondisi 1996—1997 berbalik sekarang. Impor kita sekarang 1 juta bph,” kata Bahlil.

Sampai dengan akhir 2024, produksi siap jual atau lifting minyak RI hanya 579.700 bph, meleset dari target APBN sebanyak 635.000 bph. Capaian itu bahkan lebih rendah dari produksi minyak 2023 yang sejumlah 605.500 bph.

Bahlil mengelaborasi pada 1996—1997, Indonesia merupakan salah satu penghasil minyak terbesar di OPEC. Lifting minyak waktu itu kurang lebih 1,6 juta bph, dengan konsumsi sekitar 500.000—600.000 bph, dan ekspor sekitar 1 juta bph.

Bahkan, kata Bahlil, 40%—50% dari total pendapatan negara saat itu bersumber dari migas.

Realisasi kumulatif lifting migas 2024./dok. Kementerian ESDM

“Ini kondisi kita sekarang. Saya cek. Setelah kita dalami, ternyata potensi sumur kita sekarang ada 44.300 sumur yang ada di Indonesia. Dari itu, kurang lebih yang berfungsi sekitar 16.000. Itu yang berfungsi,” terangnya.

Kondisi sumur-sumur tersebut sudah tua, dan menurut Bahlil, sebanyak 16.000—18.000 di antaranya sudah tidak berfungsi. Hanya sekitar 7.000—8.000 sumur saja yang masih bisa dioperasikan.

“Setelah saya cek, kondisi baseline negara kita, kita itu ada 301 sumur yang sudah selesai eksplorasi, tinggal PoD [plan of development/rencana pengembangan] dan beberapa teknologi yang bisa kita lakukan.”

Selain berencana mereaktivasi dan melelang sumur-sumur menganggur tersebut, Bahill akan mengebut eksplorasi untuk menemukan potensi-potensi sumber daya minyak yang masih bisa digali Indonesia dalam jangka panjang.

Untuk itu, dia mempersiapkan lelang 60 wilayah kerja (WK) baru pada 2025—2027. “Nah ini potensi investasi. Ini barang-barang bagus semua,” ujarnya. 

Sumbatan Investasi

Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) Elan Biantoro sebelumnya menyebut salah satu alasan lesunya investasi hulu migas di Indonesia adalah kepastian hukum. Hal ini merujuk pada UU Migas, yang beberapa pasalnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada November 2012.

“UU Migas sudah 12 tahun tidak selesai diundangkan. Pada November 2012 ada yang menuntut ke MK untuk dibatalkan beberapa pasal-pasalnya. Dengan demikian, waktu itu UU Migas diamputasi. Jadi ada pasalnya yang dibatalkan oleh MK, waktu itu Ketua MK-nya Pak Mahfud MD,” ujar Elan kepada Bloomberg Technoz, dalam sebuah kesempatan.

Walhasil, lembaga Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas atau BP Migas pun harus dibubarkan. Sebagai gantinya, terdapat Peraturan Presiden (Perpres) No. 95/2012 yang mengamanatkan pembentukan Satuan Kerja Sementara  Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Namun, Elan menggarisbawahi SKK Migas hanya merupakan lembaga sementara atau ad hoc yang berada di bawah Kementerian ESDM.

“Padahal dahulu lembaga BP Migas itu adalah lembaga resmi yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Bahkan untuk ketuanya, kepalanya itu harus melalui fit and proper dari DPR. Jadi dahulu cukup tinggi [standarnya]],” ujarnya.

Menurut Elan, hal tersebut membuat investor migas mulai melihat bahwa Indonesia tidak memiliki lembaga atau badan yang permanen dalam sektor hulu migas. 

(wdh)

No more pages