Ia menjelaskan, kesepakatan perdata ini melahirkan keuntungan bagi lender dan borrower, sekaligus memiliki risiko. Yaitu, keterlambatan pencairan dana atau bahkan dalam kasus tertentu mengalami gagal bayar.
“Informasi yang kami sampaikan di disclosure disitu rasanya cukup clear, kita bilang layanan pinjam meminjam berbasis teknologi merupakan kesepakatan perdata yang dibuat antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman, sehingga segala risiko yang ditanggung oleh masing-masing. Itu esensinya,” papar dia.
Adrian menganjurkan lender yang belum memiliki pengetahuan terkait pinjaman online untuk tidak masuk ke dalam proses tersebut. Penyedia platform P2P lending, tidak hanya Investree, termasuk otoritas keuangan terkait tidak menanggung risiko kredit atau gagal bayar.
“Seluruhnya ditanggung oleh pemberi pinjaman, tidak ada otoritas negara yang menanggung risiko atas gagal bayar tersebut,” jelas Adrian. Hal ini juga telah ada dalam laman semua Investree.
“Kami di industri dan juga dengan OJK sama-sama memberi keterangan disclosure atau disclaimer dari risiko tersebut. Jadi ini perjanjian perdata lender dan borrower,” Adrian menambahkan.
Lantas, apakah Investree berdiam diri? Adrian menjawab, pihaknya tetap menerima setiap pengaduan dan melakukan upaya penyelesaian pinjaman yang terlambat lewat berbagai pendekatan, seperti proses litigasi dan penjualan aset.
“Kami sudah lakukan litigasi, bahkan sejak berdiri Investree dari 2016. Selama perjalanan kita, sudah ada beberapa, tidak hanya sekarang saja. Ada litigasi, ada proposal perdamaian, dan sebagainya, atau yang saat ini masih berjalan. Ada juga yang masuk ranah PKPU, karena krediturnya tidak hanya Investree, tapi juga kreditur lain,” terang dia.
Dalam litigasi, Investree biasa memulai dari mengirimkan somasi pertama, dilanjutkan yang kedua. Saat respon dari penerima pinjaman tidak kunjung hadir, upaya lanjutan adalah melaporkan ke pihak berwajib.
“Contohnya laporan polisi, juga kita telah lakukan. Ada beberapa yang kita lakukan seperti itu,” ucap dia.
Upaya penyelesaian lain berupa gugatan perdata. Hal ini ditempuh karena Investree menduga ada unsur kesengajaan dari borrower saat kewajibannya tidak juga dibayarkan.
“Kita sudah lakukan dengan beberapa borrower yang kita lihat memang quote & quote ada unsur kesengajaan, dan sebagainya. Jadi itupun sudah pernah kita lakukan,” papar dia.
Agar penyelesaian perjanjian antara lender dengan borrower lancar, Investree juga bisa mengajukan upaya restrukturisasi. Biasanya pola ini dilakukan untuk borrower yang masih kooperatif.
“Kalau borrower masih kooperatif tentu ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan, contoh restrukturisasi sudah kita lakukan, karena bagaimanapun begini, yang mana P2P lending, kita memberikan pembiayaan kepada UMKM [Usaha Mikro Kecil Menengah,” jelas dia.
Karena mayoritas borrower adalah pelaku usaha kecil menengah, sangat mungkin bahwa perusahaan ini belum mencapai kestabilan finansial. Hal inilah yang perlu juga dipahami oleh para lender.
“Kita memberi pendanaan kepada UMKM, perusahaan kecil menengah, pasti ada goncangan-goncangan. Apakah kita [lender] siap dengan goncangan tersebut? Itu menjadi beberapa pertimbangan,” tegas Adrian.
Dalam catatan perusahaan, per 30 April 2023 Investree mencatatkan TKB90 sebesar 97,7%. Angka ini berada di atas rata-rata industri sebesar 95,7%.
TKB90 adalah tingkat keberhasilan perusahaan P2P lending dalam memfasilitasi penyelesaian kewajiban pinjam meminjam dalam jangka waktu maksimal 90 hari sejak jatuh tempo. Semakin tinggi persentase TKB90 bisa diartikan semakin baik.
Dengan TKB90 tersebut, dapat diartikan Non Performing Financing atau Non Performing Loan Investree berada di level 3%, yang menurut Adrian sudah jauh lebih kecil dibandingkan rata-rata industri.
“Kalau dari data kita per Maret April, kita selalu jaga di 3%, tidak lebih dari itu. Kalau dilihat di atas industri, artinya Investree tingkatannya [NPF/NPL] lebih rendah dari industri,” tutur Adrian.
(wep/dba)