“Ini akan kami tingkatkan dengan cepat dalam dua tahun ke depan,” tutur Tiko.
Kedua, pengembangan pembangkit berbasis panas bumi atau geothermal berkapasitas 5 GW. Ketiga, pembangkit bioenergi berkapasitas 1 GW. Keempat, pembangkit tenaga surya berkapasitas 17 GW.
Proyek pembangkit surya tersebut, jelas Tiko, akan mencakup pembangunan battery energy storage system (BESS).
“[Kelima], kami juga berencana untuk mulai memperoleh energi nuklir untuk energi berkelanjutan dan bersih pada masa depan,” lanjut Tiko.
Dalam 10 tahun ke depan, Tiko menyebut pemerintah menargetkan peningkatan kapasitas pembangkit sebesar 71 GW yang dijalankan bersamaan dengan upaya pengurangan ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil.
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah juga menekankan pada investasi transmisi antarkepulauan maupun intrakepulauan guna menaikkan rasio elektrifikasi di dalam negeri. Proyek ini juga membutuhkan investasi untuk 48.000 sirkuit serta pengabelan.
“Kita juga akan melanjutkan beberapa proyek tersisa untuk mencapai target tersebut, serta [tambahan] 15 GW [pembangkit] gas untuk mendukung base load, khususnya di areal Jawa,” terangnya.

Sampai dengan 2024, bauran energi primer dalam sistem ketenagalistrikan Indonesia masih didominasi oleh sumber energi fosil dengan porsi sebesar 85% atau 86 gigawatt (GW).
Adapun, total kapasitas terpasang pembangkit di Indonesia sepanjang tahun lalu tercatat sebesar 101 GW.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam laporannya, Senin (3/2/2025), memaparkan hanya 15,1% atau 15 GW sumber energi baru terbarukan (EBT) yang berkontribusi dalam kapasitas terpasang pembangkit di Indonesia tahun lalu.
Realisasi tersebut masih sangat jauh dari target yang hendak dicapai pemerintah, yaitu menaikkan kontribusi EBT menjadi 23% dalam bauran energi primer nasional pada 2025.
Jawa masih menjadi wilayah dengan kapasitas pembangkit terbesar di Indonesia, tetapi Sumatra menjadi pulau dengan bauran EBT dalam energi primer terbesar dibandingkan dengan pulau-pulau utama lainnya.

Secara terperinci berdasarkan wilayah di lima pulau terbesar RI, kapasitas terpasang pembangkit di Sumatra mencapai 18,5 GW dan terdiri dari 67% (12,4 GW) sumber energi fosil dan 33% (6,2 GW) sumber EBT.
Kapasitas terpasang pembangkit di Jawa tercatat sebesar 54,5 GW, terdiri dari 90% (49,2 GW) energi fosil dan 10% (5,3 GW) EBT.
Di Kalimantan, sebanyak 86% (4,7 GW) sumber energi fosil mendominasi kapasitas terpasang pembangkit yang mencapai 5,4 GW. Hanya 14% (0,8 GW) pembangkit listrik yang berbasis EBT di pulau tersebut.
Sementara itu, Kapasitas terpasang pembangkit di Sulawesi tercatat sebesar 12,9 GW, terdiri dari 80% (10,3 GW) energi fosil dan 20% (2,5 GW) EBT.
Adapun, di Papua, sebesar 97% (9,5 GW) sumber energi fosil mendominasi kapasitas terpasang pembangkit yang mencapai 9,8 GW. Hanya 3% (0,3 GW) pembangkit listrik yang berbasis EBT di Bumi Cendrawasih.
PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN sebelumnya memperkirakan investasi yang dibutuhkan untuk proyek ketenagalistrikan sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025—2034 mencapai sekitar Rp2.400 triliun.
“Kami butuh Rp2.400 triliun. Jadi on average ada Rp24 triliun yang dibutuhkan untuk investasi dalam 10 tahun ke depan, rata-rata,” kata EVP Aneka Energi Terbarukan PLN Zainal Arifin ditemui di Menara Global, Kamis (16/1/2025).
Zainal menyebut perhitungan itu dilakukan PLN berdasarkan peningkatan kapasitas tenaga listrik sebesar 71 GW dengan porsi 70% merupakan EBT dari total sumber listrik di Indonesia.
Zainal menjelaskan kemampuan PLN memang tidak sebesar itu untuk membiayai proyek tersebut. PLN disebut hanya mampu membiayai sekitar Rp70 triliun hingga Rp100 triliun.
Untuk itu, perseroan membuka kesempatan bagi perusahaan pembangkit listrik swasta untuk berinvestasi.
(wdh)