Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman berpandangan pemerintah perlu merevisi aturan mengenai tata kelola minyak mentah dan/atau kondensat bagian negara (MMKBN).

Aturan tersebut termaktub di dalam Surat Keputusan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) No. PTK-065/SKKMA0000/2017/S0 tentang Penunjukan Penjual dan Penjualan Minyak Mentah dan/atau Kondensat Bagian Negara.

Revisi tersebut dinilai makin urgen setelah adanya dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero), sub holding, dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) periode 2018—2023 yang sedang diselidiki oleh Kejaksaan Agung.

Yusri menilai aturan itu sudah tidak relevan karena memberikan kuasa kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dalam penjualan MMKBN. Seharusnya, aturan tersebut disesuaikan dengan Peraturan Menteri ESDM terkait.

“Kan aturannya itu menurut PTK 065-2017 yang dibuat SKK Migas itu harus direvisi, disesuaikan dengan Peraturan Menteri ESDM No. 18/2021 yang merupakan perubahan dari Permen ESDM No. 42/2018. Itu harus disesuaikan, cepat direvisi,” kata Yusri saat dihubungi, Selasa (11/2/2025). 

Fasilitas penyimpanan minyak. (Bloomberg)

Yusri mengatakan SKK Migas bukan merupakan entitas bisnis, sehingga dia menyarankan kuasa atas penjualan MMKBN tersebut bisa diberikan kepada Pertamina sebagai badan usaha untuk mengelola MMKBN. 

“Dahulu kan sudah sempat dikasih ke Pertamina. KKKS ini kan ada Pertamina, ada swasta asing, dan ada BUMD. Nah, mereka dikasih kuasa boleh menjual bagian negara. Harusnya dikasih ke Pertamina,” ujar Yusri.

Menurut Yusri, Pertamina lebih sesuai mengatur penjualan MMKBN ketimbang SKK Migas lantaran perseroan memiliki kilang sendiri yang mengolah minyak mentah, hingga memproduksi bahan bakar minyak (BBM) sendiri. 

Dengan demikian, perusahaan pelat merah itu dinilai lebih memahami kebutuhan minyak mentah untuk kilang-kilang yang ada di Indonesia. “Misalnya kalau enggak sesuai [minyak mentahnya], kan kebanyakan ini saya jual aja, ngapain ini menjadi beban saya.”

Menurut dia, adanya PTK 065/202 tersebut membuat rawan terjadinya permainan oleh oknum-oknum elite yang ada di SKK Migas. Dia pun lantas mempertanyakan apa maksud dan tujuan diterbitkannya PTK tersebut. 

“Apakah hanya untuk menyingkirkan Pertamina agar bisa dialihkan ke KKKS? Apakah SKK Migas lebih memercayai KKKS daripada Pertamina atau jangan-jangan KKKS lebih bisa diajak 'kongkalikong' daripada Pertamina? Hal inilah harus diungkap motifnya,” jelas Yusri. 

Tidak Tegas

Di sisi lain, Yusri menyebut dalam kuasa jual MMKBN kepada KKKS tersebut tidak diatur secara tegas ihwal mekanisme teknis dalam menjual MMKBN.

Pada butir 2.2.2 PTK 065 tersebut menyatakan bahwa penjualan MMKBN dilakukan oleh Badan Usaha selain KKKS sebagai penjual yang ditunjuk, sedangkan MMKBN bagian KKKS dikomersialisasikan sesuai mekanisme yang berlaku di KKKS.

“Itu namanya MMKBN digendong ke minyak mentah milik KKKS, maka penjualan MMKBN bisa terjadi tidak ditenderkan jika KKKS menerapkan kebijakan internalnya tidak perlu ditenderkan, di sinilah celakanya,” ujarnya.

Menurut Yusri, penggunaan 'bahasa langit' seperti Election in Kind dan Election Not To Take in Kind (ENTIK) dalam aturan tersebut bisa dianggap hanya sebagai siasat mengecoh publik bahwa seolah-olah aturan PTK ini baik dan terkonsep dengan benar dan menguntungkan negara, meskipun bisa terjadi malah sebaliknya.

Kemarin petang, Kejagung mengumumkan posisi kasus terkait dengan dugaan Pertamina telah melakukan perbuatan melanggar hukum untuk mengakali impor minyak mentah atau crude.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar menjelaskan bahwa pengusutan kasus ini bermula pada 2018 ketika diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM No. 42/2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.

Aturan tersebut mewajibkan Pertamina mengutamakan penyerapan minyak mentah hasil produksi dalam negeri untuk kemudian diolah di kilang perusahaan sebelum bisa melakukan impor. Di sisi lain, KKKS swasta juga diwajibkan menawarkan bagian minyak mentahnya kepada Pertamina sebelum melakukan ekspor.

Namun, dalam perjalanannya, Kejagung menduga adanya upaya untuk menghindari kesepakatan antara KKKS swasta dan Pertamina dalam proses jual beli tersebut.

”Dalam pelaksanaannya, KKKS swasta dan Pertamina, dalam hal ini ISJ dan/atau PT KPI [Kilang Pertamina Indonesia], berusaha untuk menghindari kesepakatan pada waktu penawaran yang dilakukan dengan berbagai cara. Jadi, mulai di situ nanti ada unsur perbuatan melawan hukumnya, ya,” ujar Harli dalam konferensi pers, Senin (10/2/2025) petang.

Kejagung menilai tindakan menghindari kesepakatan jual beli dalam kasus tersebut telah merugikan negara. Pasalnya, MMKBN yang seharusnya bisa diolah di Kilang Pertamina malah harus tergantikan dengan minyak mentah hasil impor.

"Perbuatan menjual MMKBN tersebut mengakibatkan minyak mentah yang dapat diolah di kilang harus digantikan dengan minyak mentah impor yang merupakan kebiasaan PT Pertamina yang tidak dapat lepas dari impor minyak mentah," jelas Harli.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018 impor minyak mentah Indonesia mencapai 16,93 juta ton; 2019 sebanyak 11,75 juta ton; 2020 sejumlah 10,51 juta ton; 2021 sebesar 13,77 juta ton; 2022 sebanyak 15,26 juta ton; dan 2023 sejumlah 17,83 juta ton.

(mfd/wdh)

No more pages