Kemarin petang, Kejagung telah menggeledah Gedung Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Penggeledahan itu dilakukan sekitar tujuh jam mulai pukul 12.00 WIB hingga 18.45 WIB.
Selain menggeledah kantor Kementerian ESDM, penyidik Jampidsus juga telah memeriksa 70 saksi untuk mengumpulkan keterangan, termasuk saksi ahli untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam perkara tersebut.
Kejagung mengumumkan posisi kasus terkait dengan dugaan Pertamina telah melakukan perbuatan melanggar hukum untuk mengakali impor minyak mentah atau crude.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar menjelaskan bahwa pengusutan kasus ini bermula pada 2018 ketika diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM No. 42/2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.
Aturan tersebut mewajibkan Pertamina mengutamakan penyerapan minyak mentah hasil produksi dalam negeri untuk kemudian diolah di kilang perusahaan sebelum bisa melakukan impor. Di sisi lain, KKKS swasta juga diwajibkan menawarkan bagian minyak mentahnya kepada Pertamina sebelum melakukan ekspor.
Namun, dalam perjalanannya, Kejagung menduga adanya upaya untuk menghindari kesepakatan antara KKKS swasta dan Pertamina dalam proses jual beli tersebut.
”Dalam pelaksanaannya, KKKS swasta dan Pertamina, dalam hal ini ISJ dan/atau PT KPI [Kilang Pertamina Indonesia], berusaha untuk menghindari kesepakatan pada waktu penawaran yang dilakukan dengan berbagai cara. Jadi, mulai di situ nanti ada unsur perbuatan melawan hukumnya, ya,” ujar Harli dalam konferensi pers, Senin (10/2/2025) malam.

Kejagung menilai tindakan menghindari kesepakatan jual beli dalam kasus tersebut telah merugikan negara. Pasalnya, minyak mentah dan kondensat bagian negara (MMKBN) yang seharusnya bisa diolah di Kilang Pertamina malah harus tergantikan dengan minyak mentah hasil impor.
"Perbuatan menjual MMKBN tersebut mengakibatkan minyak mentah yang dapat diolah di kilang harus digantikan dengan minyak mentah impor yang merupakan kebiasaan PT Pertamina yang tidak dapat lepas dari impor minyak mentah," jelas Harli.
Menyitir data Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor minyak mentah Indonesia relatif fluktuatif pada rentang 2018—2023, tetapi cenderung terus mengalami kenaikan setelah periode pandemi pada 2020.
Pada 2018 jumlahnya mencapai 16,93 juta ton; 2019 sebanyak 11,75 juta ton; 2020 sejumlah 10,51 juta ton; 2021 sebesar 13,77 juta ton; 2022 sebanyak 15,26 juta ton; dan 2023 sejumlah 17,83 juta ton.
(wdh)