Logo Bloomberg Technoz

Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Atina Rizqiana menjelaskan transisi energi perlu dilihat sebagai peluang, bukan beban.

Tanpa perubahan paradigma yang melihat transisi energi sebagai peluang, Indonesia berisiko kehilangan kepercayaan internasional dan gagal memanfaatkan momentum global untuk mendorong pengurangan emisi secara efektif.

“Ditambah lagi Perpres No. 112/2022 yang masih mengizinkan pembangunan PLTU captive menambah daftar bukti bahwa pemerintah belum benar-benar serius dalam mengurangi ketergantungan pada batu bara,” tegas Atina dalam risetnya, baru-baru ini.

Direktur Eksekutif  Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memandang, sejauh ini fokus pemerintah masih terpaku pada target jangka panjang melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025—2034.

Pemerintah memang mengeklaim RUPTL mencakup rencana pengembangkan pembangkit yang akan didominasi oleh EBT.

Namun, menurut Fabby, kebijakan energi yang diejawantahkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) maupun Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) juga belum sejalan dengan keinginan Prabowo.

Hal itu tecermin dari target KEN yang justru dimundurkan dari 2025 menjadi 2030, meskipun hingga 2060 pemerintah menargetkan target bauran EBT dalam sumber energi primer RI sebesar 70%.

Jika mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), target bauran EBT 70% seharusnya dilakukan pada 2045, bukan 2060.

“Jadi delay itu sebenarnya. Jadi belum sejalan dengan maunya Presiden Prabowo, atau belum berhasil lah kalau saya bilang [Kementerian ESDM] menerjemahkan apa yang disampaikan oleh Presiden secara verbal ya. Itu belum terintegrasi betul-betul,” kata Fabby saat dihubungi.

Di sisi lain, Fabby memandang berdasarkan Perpres No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, PLTU captive harus berakhir pada 2050 begitupun PLTU milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.

Grafik Penambahan PLTU captive di Indonesia dari tahun ke tahun (Bloomberg Technoz/Asfahan)

Belakangan, PLN mengubah strateginya setelah tidak bisa mendapatkan pendanaan pensiun dini PLTU pada 2023.

Dalam RUKN, PLTU tidak dipensiunkan lebih awal, tetapi disesuaikan dengan usia ekonomisnya. Walhasil, ketika PLTU telah berusia 30 tahun dan kontraknya selesai, maka tidak akan diperpanjang atau dipensiunkan dini.

“Jadi arahnya gitu. Kenapa? Karena argumentasinya adalah pendanaan yang tersedia tidak ada. Ini yang menjadi major concern bahwa PLN memang fokus melihat pendanaan, pemerintah khususnya Kementerian Keuangan juga melihat itu,” ujar dia.

“Jadi yang dikhawatirkan oleh pembantu-pembantu Presiden ini adalah dampaknya pada tarif listrik. Kalau PLTU lebih cepat dimatikan, menurut mereka, tarif listriknya akan lebih tinggi. Akibatnya, kalau tarif enggak naik, subsidinya bertambah, logikanya begitu.”

Pada saat bersamaan, kata Fabby, pemerintah malah memberikan subsidi pada batu bara dalam bentuk kebijakan domestic market obligation (DMO) US$70/ton kepada PLN.

Meskipun harga batu bara naik, PLN tetap bisa mengoperasikan PLTU dengan membeli batu bara murah dan tidak membangun energi terbarukan.

Kendati batu bara untuk PLTU masih disubsidi, Fabby menyebut biaya produksi listrik tetap tinggi setiap tahunnya. Sejumlah pelanggan penerima kategori subsidi listrik padahal telah dibatasi oleh pemerintah.

“Padahal PLTU-nya tambah banyak dan PLTU harga dari subsidi, kenapa tuh? Berarti kan ada yang enggak beres dengan perhitungan pemerintah. Atau biaya produksi PLN kok enggak ada yang menyadari sih?" ucapnya.  

“Dahulu kan bilangnya kalau PLTU banyak, listriknya murah. Di atas kertas begitu, tetapi kok subsidinya naik terus? Harga pembangkitan tenaga listrik naik terus? Walaupun sudah ada upaya, efisiensi, segala macam dari PLN ya, tetapi subsidinya naik terus loh.”

Kementerian Keuangan melaporkan realisasi subsidi listrik 2024 mencapai Rp75,8 triliun atau 42,7% dari realisasi belanja subsidi energi. Jumlah tersebut 10,4% lebih tinggi dari tahun sebelumnya, dengan output diperkirakan mencapai 68,5 terrawatt-hour (TWh)

Menurut Fabby, ketimbang mempertahankan subsidi batu bara dalam bentuk DMO kepada PLN, pemerintah dapat menggantinya dengan pembangit listrik tenaga surya (PLTS) ditambah battery energy storage system (BESS). Selain itu, angin dan BESS ataupun PLTA ditambah BESS.

“Bahkan, di beberapa tempat lain, PLTA yang minihidro itu bisa saja lebih murah daripada PLTU, tergantung sistemnya kan. Artinya, PLN sebenarnya di dalam perencanaannya bisa membangun pembangkit renewables, tetapi lebih murah. Jadi, Kementerian Keuangan enggak hanya menghitung hari ini. Harus dilihat pada masa mendatang bagaimana sistemnya. Karena sistem kita kan regulated, bukan market based,” jelas Fabby. 

Butuh Cuan

Pada kesempatan terpisah awal pekan ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menjabarkan sederet kendala yang membuat pemerintah hingga kini belum juga berhasil melakukan pensiun dini PLTU.

Bahlil menegaskan, pada dasarnya, pemerintah tetap berkomitmen melakukan pensiun dini terhadap PLTU yang menggunakan energi batu bara, asalkan ada pendanaannya. Menurutnya, penghentian opersional seluruh PLTU batu bara membutuhkan biaya besar.

“Kalau ditanya Menteri ESDM atau negara mau pensiunkan [PLTU]; mau. Catatannya, kasih cuannya, kasih uangnya, enggak boleh bunga mahal, pinjaman jangka panjang dengan harga sampai ke rakyat yang murah,” kata Bahlil.

PLTU Paiton di Probolingggo, Jawa Timur./dok. PLN

Menurut perhitungan Bahlil, harga listrik dari PLTU batu bara adalah sekitar US$5 sen/kWh. Sebagai perbandingan, harga listrik dari pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) sekitar US$10 sen/MMBtu.

Dia mencontohkan per 1 GW kapasitas listrik memiliki tingkat kemahalan setara dengan Rp6 triliun dalam satu tahun. Dengan demikian, ketika PLTU dialihkan menjadi PLTG, per 1 GW selama 10 tahun akan menghasilkan tingkat kemahalan Rp72 triliun.

“Kalau 10 GW sama dengan 10.000 MW. Itu artinya selama 10 tahun, Rp720 triliun dibagi 10 berapa? Rp72 [tirliun]. Kalau kali 10 MW? Itu kira-kira,” tutur Bahlil.

“Kalau kita berubah langsung sekarang dari PLTU ke gas, per tahun 10 GW itu sama dengan tingkat kemahalannya Rp72 triliun. Dan pemakaian gas kita, 1 GW [membutuhkan] 25 kargo [LNG], kalau 10 GW berarti 250 kargo.”

Bahlil mengisyaratkan sumber daya gas yang ada di Tanah Air akan sulit digunakan untuk pembangkit listrik. Hal ini karena sumber energi mayoritas di RI yakni air, batu bara, angin, dan listrik.

Hingga saat ini, kata dia, pemerintah berencana menghentikan PLTU Cirebon 1 dengan pinjaman berasal dari Asian Development Bank (ADB). Pembangkit tersebut memiliki kapasitas 660 MW dan akan dipensiunkan tujuh tahun lebih awal dari yang seharusnya.

"Ini sekarang sudah mulai jalan [proses pensiun dini], [dana] ADB ya, kayak begini-begini, paten punya," tambah Bahlil.

Terkait dengan pelaksanaan pensiun dini PLTU, Bahlil menuturkan terdapat dua syarat yang harus dipenuhi. 

Pertama, adanya lembaga yang telah jelas membiayai, sehingga secara ekonomi tidak membebani negara. Kedua, tidak membebankan negara, PT PLN (Persero), hingga masyarakat.

“Kalau ada yang membiayai murah begini, alhamdulillah," imbuhnya.

Bahlil juga menyinggung ihwal sejumlah lembaga pembiayaan yang hingga  kini tak kunjung memberikan pendanaan kepada Indonesia untuk mendukung pensiun dini PLTU.

"Jadi, saya mau tanya lembaga mana yang membiayai kita kalau kita mempensiunkan sekarang? Ini dilematis sekali. Bila perlu kita pensiunkan semua, yang penting ada yang membiayai dong," tegasnya.

Dalam paparannya, Bahlil menyebut untuk pengganti PLTU Cirebon yang akan dipensiunkan, pemerintah menyiapkan empat pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT).

Keempatnya adalah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 346 MW, PLTS + BESS 770 MW, pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) sebesar 1.000 MW, dan PLTSa sebesar 12 MW.

Adapun, manfaat ekonomi pensiun dini PLTU Cirebon-1 lewat pembangunan EBT dapat membuka 39.707 lapangan kerja dengan potensi investasi US$198 juta atau setara Rp3,25 triliun.

Negara-negara di dunia dengan eksposur tertinggi terhadap PLTU berbasis batu bara. (Dok. Bloomberg)

Tarik Pernyataan

Dalam perkembangan terakhir, Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo menegaskan pemerintahan Prabowo-Gibran tidak akan menerapkan pemadaman sepenuhnya untuk PLTU.

Pernyataan ini disampaikan untuk meluruskan kesalahpahaman yang sempat beredar di media mengenai penutupan seluruh pembangkit listrik berbasis batu bara pada 2040.

"Waktu itu saya disalahkutipkan oleh media seolah-olah pemerintah Prabowo-Gibran akan menutup semua tenaga listrik batubara atau tenaga uap mulai 2040, itu tidak benar. Itu salah kutip, kita tidak mau bunuh diri secara ekonomi. Kalau kita tutup pusat tenaga listrik tenaga uap, ekonomi kita nanti akan hancur. Maka nanti itu berimbang," kata Hashim dalam kegiatan ESG Sustainability Forum 2025.

Hashim menjelaskan setelah 2040 nantinya pemerintah tidak akan membangun PLTU baru, sesuai dengan komitmen transisi energi yang lebih ramah lingkungan.

"Setelah 2040 tidak bakal ada pusat-pusat tenaga uap baru, itu yang dimaksud Pak Prabowo, dimaksud saya, dan pemerintah. Di sini, ini rancangan umum untuk memberikan tenaga listrik yang berimbang dan ramah lingkungan," papar Hasyim.

Hashim juga menegaskan tidak ada satu pun negara di dunia yang sepenuhnya menutup PLTU. Hasyim merujuk pada pengalaman Jerman yang menutup pembangkit tenaga nuklir dan kini menghadapi stagnasi ekonomi akibat krisis energi.

"Tidak ada negara satu pun di bumi ini yang akan menutup pusat-pusat listrik tenaga uap, tidak ada satu pun. Tenaga nuklir ada, itu Jerman, tapi Jerman sekarang merasakan dampak negatif dari penutupan dari tenaga nuklir, karena Perang Ukraina, impor gas yang murah dari Rusia terpaksa ditutup, sekarang Jerman mengalami stagnasi ekonomi, itu sudah sangat menyolok. Indonesia tidak mau mengulangi pengalaman pahit yang dialami oleh negara-negara lain," tegas Hashim.

(wdh)

No more pages