Dalam kaitan itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memandang pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan pendanaan luar negeri untuk proyek-proyek transisi energi.
Pemerintah disebutnya perlu mengoptimalkan sumber APBN dan non-APBN lainnya, termasuk dengan memobilisasi pendanaan swasta.
Berdasarkan perhitungannya, RI membutuhkan US$30 miliar—US$40 miliar untuk investasi proyek energi baru terbarukan (EBT) seperti membangun transmisi, tempat penyimpanan energi, serta infrastruktur pendukung lainnya.
Pemerintah, lanjut dia, juga bisa membiayai pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara dari APBN karena pada akhirnya aset PLTU tersebut akan menjadi milik negara.
Menurutnya, sejumlah proyek transisi energi yang ada di RI tidak layak untuk mendapatkan kredit usaha atau bankable karena kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sendiri.
“Katakanlah PLN bilang butuh US$5 miliar itu dikasih duitnya ke PLN dari APBN, katakan US$1 miliar sampai dengan 2030 nanti secara bertahap. Kan duitnya enggak ke mana-mana, duitnya berubah jadi aset PLN,” ujarnya kepada Bloomberg Technoz.
“Enggak ribet kok. Itu hanya masalah bagaimana kita bisa memprioritaskan atau enggak. Mau atau enggak?”
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi menyebut pendanaan JETP tidak berpusat dari AS saja, karena masih ada anggota lain yang bisa menjadi sumber pendanaan misalnya Jepang.
"Saya rasa sih enggak terlalu [berpengaruh] ya. Pendanaan tadi kan bisa dari Jepang, ada dari macam-macam. Karena dana itu sekarang bergeraknya banyak di Asia. Kalau Eropa sedikit-sedikit, Amerika juga," kata Eniya saat ditemui di sela kegiatan Berita Satu Outlook 2025, akhir Januari.
Program Omong Kosong
Di sisi lain, Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo menyatakan program komitmen pendanaan transisi energi dalam JETP hanyalah omong kosong belaka dari negara-negara maju. Bahkan, Hashim menyebut JETP merupakan program gagal.

Hashim menegaskan tak ada sepeserpun dana yang diterima Indonesia dari program JETP selama dua tahun berjalan. Bahkan, komitmen pendanaan JETP turut dihapus pascahengkangnya AS dari Paris Agreement.
"JETP itu program gagal. Dua tahun berjalan, tidak ada satu dolar pun dikucurkan oleh Pemerintah AS, banyak ‘omon-omon’ [omong kosong] ternyata," kata Hashim dalam sesi diskusi yang digelar secara daring, akhir Januari.
Adik kandung Presiden Prabowo Subianto itu menyebut di dalam klausul yang dia ketahui, terdapat dana hibah US$5 miliar dari komitmen US$20 miliar diberikan secara cuma-cuma.
Dana tersebut bakal disalurkan dengan catatan jika anggarannya tersedia. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, AS tak punya dana untuk menyalurkan hibah tersebut.
"Itu ada klausul dalam JETP itu US$5 miliar akan dihibahkan apabila dana tersedia. Setelah dicek kapan bisa dihibahkan, mereka bilang 'maaf, tidak tersedia'. Ini realitanya yang saya dengar dari kawan-kawan PT PLN," lanjut Hashim.
Untuk itu, menurut Hashim ada baiknya pemerintah tidak perlu menaruh harapan yang tinggi pada pendanaan dari program JETP.
Diambil Alih Jerman
Pada perkembangan terbaru, beberapa negara maju—termasuk Jerman dan Jepang — tengah berupaya memperkuat program yang ditujukan untuk memberikan sekitar US$45 miliar guna membantu negara-negara berkembang beralih dari bahan bakar fosil, seiring dengan mundurnya AS dari peran kepemimpinan dalam isu ini.
Perundingan antara mitra internasional sedang berlangsung untuk mempertahankan momentum dalam kesepakatan JETP yang digagas di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden.
Kesepakatan ini melibatkan Indonesia, Vietnam, dan Afrika Selatan, menurut beberapa sumber yang familiar dengan perincian pembicaraan tersebut kepada Bloomberg.
Jerman akan menggantikan AS sebagai pemimpin bersama dalam upaya untuk mengamankan sekitar US$20 miliar yang akan mendukung transisi energi Indonesia yang bergantung pada batu bara, demikian disampaikan Kementerian Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Federal Jerman dalam sebuah pernyataan.
Para pendukung global program JETP berencana untuk mengevaluasi potensi dampak finansial jika AS menarik dukungannya terhadap program tersebut, kata sumber-sumber tersebut yang meminta namanya dirahasiakan untuk membahas pembicaraan internal.
“Dampaknya masih dapat dikelola, asalkan negara-negara lain tetap melanjutkan komitmennya,” kata Putra Adhiguna, Direktur Utama Energy Shift Institute yang berbasis di Jakarta, sebuah lembaga think tank yang berfokus pada Asia.
Bulan lalu, Trump menghentikan sebagian bantuan keuangan AS yang bertujuan membantu negara berkembang dan negara berpendapatan menengah menghadapi ancaman perubahan iklim, dan memulai proses penarikan diri dari Perjanjian Paris untuk kedua kalinya.
Langkah ini menunjukkan niat AS untuk melepaskan peran dalam mendorong pengurangan emisi global. Penarikan AS dari diplomasi iklim, serta sebagai sumber pendanaan, mengancam untuk menambah komplikasi baru pada rencana JETP.

Bagaimanapun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kesepakatan JETP untuk Indonesia tetap berjalan, meski AS menarik diri dari program ini.
Menurut Airlangga, pemerintah sudah membahas terkait nasib kesepakatan energi bersih tersebut dengan Bank Dunia dan Jepang.
“Sudah bahas dengan World Bank dan Jepang pada saat nanti AS seandainya mereka menarik diri, JETP akan tetap terus berjalan dengan negara-negara yang masuk di JETP tersebut,” ujar Airlangga dalam konferensi pers, medio pekan ini.
Dalam kesempatan tersebut, Airlangga juga memastikan saat ini JETP berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
(wdh)