Logo Bloomberg Technoz

Masalah keuangan Jiwasraya sebenarnya sudah berlangsung sejak 2002, ketika perusahaan mulai mencatat laba semu untuk menutupi kondisi keuangan yang memburuk. Pada 2006, Jiwasraya tetap melaporkan keuntungan, meskipun kondisi riilnya tidak sehat.

Ironisnya, meskipun dalam kondisi keuangan yang tidak stabil, Jiwasraya tetap melakukan pengeluaran besar untuk aktivitas pemasaran dan sponsorship. Salah satu langkah kontroversialnya adalah menjadi sponsor klub sepak bola Inggris, Manchester City, pada 2014.

Pada 2015, Jiwasraya meluncurkan produk JS Saving Plan, yang menawarkan bunga tinggi antara 9%-13%. Produk ini menarik banyak nasabah karena keuntungannya jauh lebih besar dibandingkan produk investasi lain di pasar. Namun, dana yang terkumpul dari produk ini justru diinvestasikan dalam saham dan reksa dana berkualitas rendah, yang tidak sesuai dengan prinsip manajemen risiko yang sehat.

Kondisi Jiwasraya semakin parah pada 2017, ketika perusahaan kembali mendapat opini tidak wajar dalam laporan keuangannya. Salah satu penyebabnya adalah kekurangan pencadangan dana hingga Rp7,7 triliun, yang menunjukkan bahwa perusahaan tidak memiliki cukup aset untuk menutupi kewajiban polisnya.

BPK kemudian menemukan pola transaksi yang mencurigakan, di mana Jiwasraya diduga mengalirkan dana melalui grup tertentu dengan melakukan transaksi saham berulang dalam waktu singkat. Pola ini dilakukan untuk menghindari pencatatan unrealized loss atau kerugian yang belum direalisasikan.

Investigasi lebih lanjut juga mengungkap bahwa Jiwasraya memiliki 28 produk reksa dana, di mana 20 di antaranya mengalokasikan lebih dari 90 persen investasinya pada aset berkualitas rendah. Praktik ini semakin memperburuk kondisi keuangan perusahaan.

BPK bersama Kejaksaan Agung menemukan bahwa Jiwasraya tidak menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dalam menyalurkan dana investasi. Dana nasabah yang seharusnya dikelola dengan hati-hati justru ditempatkan pada saham-saham yang memiliki risiko tinggi dan likuiditas rendah.

Akibatnya, ketika nasabah mulai menarik dana mereka, Jiwasraya tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran polis. Situasi ini menyebabkan kepanikan di industri asuransi dan memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap sektor keuangan.

Pada 2020, BPK memperkirakan total kerugian negara akibat skandal Jiwasraya mencapai Rp16,81 triliun. Kejaksaan Agung pun mulai menindak berbagai pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini, termasuk pejabat pemerintah yang berperan dalam menyetujui produk-produk bermasalah Jiwasraya.

Salah satu pejabat yang kini menjadi tersangka dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Isa Rachmatarwata. Ia diduga terlibat dalam menyetujui peluncuran produk JS Saving Plan saat menjabat sebagai Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK periode 2006-2012, meskipun kondisi keuangan Jiwasraya saat itu sudah tidak sehat.

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa Isa Rachmatarwata menyetujui produk JS Saving Plan saat masih menjabat di Bapepam-LK. Produk tersebut kemudian dipasarkan, dan dana yang terkumpul ditempatkan pada instrumen investasi tanpa menerapkan tata kelola yang baik.

“Ada indikasi transaksi tidak wajar pada sejumlah saham, seperti IIKP, SMRU, TRAM, LCGP, MYRX, SMBR, BJBR, PPRO, dan lainnya. Transaksi ini dilakukan secara langsung maupun melalui manajer investasi, yang kemudian menyebabkan nilai portofolio investasi Jiwasraya mengalami penurunan drastis,” ungkap Qohar dalam konferensi pers, Jumat (7/2/2025).

Kementerian Keuangan menyatakan menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan menyerahkan sepenuhnya kepada Kejaksaan Agung.

Kasus Jiwasraya tidak hanya berdampak pada keuangan negara, tetapi juga menimbulkan krisis kepercayaan terhadap industri asuransi di Indonesia. Banyak nasabah yang mulai ragu terhadap keamanan investasi mereka, sementara pemerintah harus bekerja keras untuk memulihkan stabilitas sektor keuangan.

Skandal ini menjadi pelajaran penting bagi regulator dan perusahaan asuransi untuk lebih memperketat pengawasan dan menerapkan tata kelola yang lebih transparan agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.

(lav)

No more pages