Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Perdagangan pada hari Kamis kemarin menjadi ajang 'pembantaian' harga saham di pasar domestik. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terperosok hingga 2,12% di mana harga saham-saham besar, terutama sektor perbankan, berjatuhan.

Investor asing tercatat membukukan nilai jual bersih (net sell) terbesar dalam enam bulan terakhir, mencapai US$ 143,1 juta atau sekitar Rp2,33 triliun dengan kurs dolar AS di pasar spot terakhir.

Arus keluar modal asing di pasar saham itu berkebalikan dengan yang terjadi di pasar surat utang negara. 

Reli harga SUN masih berlanjut sampai kemarin terindikasi dari penurunan imbal hasil obligasi negara yang telah berlangsung dalam beberapa hari terakhir.

Mengacu data OTC Bloomberg, tenor 2Y sudah terpangkas imbal hasilnya hingga 30,5 basis poin dalam sebulan terakhir. Kini posisi yield ada di 6,636%.

Lalu, yield 5Y juga turun 24,7 basis poin dalam sebulan dan dalam perdagangan sesi sore ada di 6,690%.

Tenor acuan, SUN 10Y juga mencatat penurunan yield hingga 15 basis poin dari posisi sebulan lalu. Kini, yield SUN 10Y ada di 6,884%.

Imbal hasil surat utang negara RI vs surat utang Treasury AS (Riset Bloomberg Technoz)

Arus modal asing terlihat masih mengalir ke pasar aset pendapatan tetap. Mengacu data terakhir yang dilansir oleh Kementerian Keuangan pada 4 Februari, asing membukukan net buy di SUN senilai US$ 44,3 juta atau Rp723,41 miliar.

Asing kini menguasai sekitar Rp881,15 miliar Surat Berharga Negara. Pada Januari, asing membukukan net buy di SBN sebesar Rp4,64 triliun, menandai dua bulan beruntun mencetak net buy.

Animo asing yang masih besar pada surat utang terbitan pemerintah RI sepertinya dipengaruhi juga oleh beberapa faktor utama. Pertama, ekspektasi penurunan BI rate lebih lanjut setelah keputusan mengejutkan Bank Indonesia pertengahan Januari lalu. 

Bank investasi global asal Inggris, Barclays Inc., memperkirakan BI akan kembali memangkas bunga acuan sebesar 25 basis poin dalam pertemuan bulan ini.

"Kami meragukan stabilitas angka pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2024, bisa mengurangi antusiasme bank sentral dalam melonggarkan moneter," kata Brian Tan, analis Barclays, dilansir dari Bloomberg.

Inflasi yang menyentuh level terendah dalam 25 tahun dengan konsumsi rumah tangga masih belum mampu bangkit ke level sebelum pandemi kemungkinan akan mendorong pelonggaran lebih lanjut.

Kedua, tren penurunan yield US Treasury. Imbal hasil Treasury yang nyaris menyentuh 4,7%, kini sudah melandai lagi di kisaran 4,44% untuk tenor 10Y.

Penurunan yield Treasury memperlebar selisih imbal hasil dengan SUN sehingga obligasi RI jadi lebih menarik. Posisi yield spread saat ini sekitar 244 basis poin.

Bahkan ketika IHSG ambles kemarin, premi investasi RI alias credit default swap (CDS) tenor 5Y justru turun 1,57% mengindikasikan risk appetite asing sejatinya meningkat.

Ketiga, pelemahan rupiah lebih karena eksternal. Rupiah memang ambles lebih dari 1% pada Januari. Pada Februari, rupiah sudah melemah 0,18%.

Namun, pelemahan rupiah itu dinilai lebih karena faktor eksternal karena pada saat yang sama, indeks dolar AS melejit dan menekan hampir semua mata uang yang menjadi lawannya.

BI, seperti dinyatakan gamblang oleh Gubernur BI Perry Warjiyo telah memperkirakan skenario 'terburuk' dan mengimplikasikan bisa mengatasi itu, sehingga menilai pemangkasan BI rate pada Januari bisa dilakukan.

Terlebih bekal cadangan devisa masih memadai di mana posisi pada akhir Januari sebesar US$ 155,7 miliar adalah yang terbesar sepanjang sejarah.

Tiga hal itu sepertinya memberikan penguatan pada surat utang RI bahkan ketika mulai muncul kekhawatiran akan kesehatan fiskal, seiring begitu banyak jurus kebijakan populis Presiden Prabowo Subianto.

Pada perdagangan Jumat ini, ada risiko pemodal mulai menghitung dampak dari berbagai rencana Prabowo, terutama pemangkasan anggaran hingga Rp306 triliun yang bisa mengerem animo pembelian di fixed income. 

Selain itu, dari lanskap global, pemodal cenderung berhati-hati jelang rilis data pekerjaan AS nanti malam.

Pada sesi Asia pagi ini, yield Treasury di semua tenor bergerak sedikit naik. Tenor 2Y naik 3,1 basis poin ke level 4,218%. Lalu tenor 10Y naik 1,8 basis poin menjadi 4,436%.

Sinyal Bessent

Pernyataan Menteri Keuangan AS Scott Bessent mungkin akan menjadi sentimen negatif bagi mata uang di luar dolar AS, termasuk rupiah. Namun, di sisi lain, itu juga memberi sedikit ketenangan pada pelaku pasar obligasi global.

Dalam wawancara dengan Bloomberg, Bessent mengatakan ia mendukung dolar yang kuat dan tidak berencana mengubah rencana penerbitan utang pemerintah. 

Scott Bessent. (Fotografer: Vincent Alban/Bloomberg)

Itu berkebalikan dengan pernyataan Presiden Donald Trump pada masa kampanye di mana ia mengkhawatirkan penguatan dolar AS karena membuat ekspor mereka kurang kompetitif.

"Trajectory bagus dan pemerintah AS memiliki pendanaan yang baik. Saya yakin bahwa ketika agenda presiden mulai terlihat jelas, kita akan melihat banyak pertumbuhan noninflasi dan saya pikir itu akan membantu kita mengkalibrasi seperti apa kebijakan itu nantinya. Namun, saya tidak memperkirakan ada perubahan dalam penerbitan obligasi [Treasury, surat utang AS] dalam waktu dekat," kata Bessent dalam wawancara bersama Saleha Mohsin dari Bloomberg TV.

Dengan kata lain, AS tidak memiliki rencana mendorong pelemahan dolar AS.

"Kebijakan dolar yang kuat sepenuhnya sejalan dengan Presiden Trump. Kami ingin dolar menjadi kuat. Yang tidak kami inginkan adalah negara lain melemahkan mata uang mereka, memanipulasi perdagangan mereka," kata Bessent.

(rui)

No more pages