Bloomberg Technoz, Jakarta - Rupiah telah mengalami hari yang buruk pada perdagangan Kamis terkepung sentimen negatif dalam dan luar negeri. Pada perdagangan hari terakhir pekan ini, rupiah kemungkinan masih akan sulit untuk bangkit.
Indeks dolar Amerika Serikat (AS) kembali di jalur hijau dengan ditutup menguat dini hari tadi di bursa New York, naik 0,10% ke level 107,68. Dalam intraday trading kemarin, DXY sempat menyentuh 108,08. Adapun yield Treasury, surat utang AS, di semua tenor juga bergerak naik terutama tenor lebih pendek pada perdagangan Kamis.
Pernyataan Menteri Keuangan AS Scott Bessent mungkin akan menjadi sentimen negatif bagi mata uang di luar dolar AS, termasuk rupiah.
Dalam wawancara dengan Bloomberg, Bessent mengatakan ia mendukung dolar yang kuat dan tidak berencana mengubah rencana penerbitan utang pemerintah.
Itu berkebalikan dengan pernyataan Presiden Donald Trump pada masa kampanye di mana ia mengkhawatirkan penguatan dolar AS karena membuat ekspor mereka kurang kompetitif.

"Trajectory bagus dan pemerintah AS memiliki pendanaan yang baik. Saya yakin bahwa ketika agenda presiden mulai terlihat jelas, kita akan melihat banyak pertumbuhan noninflasi dan saya pikir itu akan membantu kita mengkalibrasi seperti apa kebijakan itu nantinya. Namun, saya tidak memperkirakan ada perubahan dalam penerbitan obligasi [Treasury, surat utang AS] dalam waktu dekat," kata Bessent dalam wawancara bersama Saleha Mohsin dari Bloomberg TV.
Dengan kata lain, AS tidak memiliki rencana mendorong pelemahan dolar AS. "Kebijakan dolar yang kuat sepenuhnya sejalan dengan Presiden Trump. Kami ingin dolar menjadi kuat. Yang tidak kami inginkan adalah negara lain melemahkan mata uang mereka, memanipulasi perdagangan mereka," kata Bessent.
Meski setelah pernyataan itu, indeks dolar AS hanya naik sedikit dan yield Treasury juga merangkak tipis, statemen gamblang Bessent bisa membebani rupiah.
Pernyataan Bessent bisa memberi alasan bagi indeks dolar AS melaju makin kuat pada perdagangan Asia hari ini. Kemarin, di pasar offshore, rupiah NDF ditutup melemah 0,17% di level Rp16.355/US$. Pagi ini, rupiah offshore bergerak di kisaran Rp16.353/US$, setelah sempat menyentuh Rp16.424/US$ pada pukul 07:14 WIB, seperti terlihat dari data realtime Bloomberg.
Pada pembukaan pasar Asia pagi ini, mayoritas mata uang bergerak menguat. Namun, setelahnya berbalik melemah. Pada pukul 08:11 WIB, mata uang yang menguat adalah peso 0,27%, dolar Taiwan 0,06% dan ringgit 0,01%.
Selebihnya, valuta Asia tertekan namun terbatas. Won tergerus 0,04%, baht 0,04%, dolar Singapura dan yen masing-masing 0,03% dan 0,02%. Dolar Hong Kong 0,01% bersama yuan offshore.
Analisis teknikal
Secara teknikal nilai rupiah berpotensi melanjutkan tren pelemahan hari ini. Level support terdekat rupiah ada di Rp16.350/US$. Pelemahan selanjutnya akan tertahan di Rp16.380/US$.
Apabila kembali break support tersebut, berpotensi melemah lanjutan dengan menuju level Rp16.400/US$ sebagai support terkuat.
Mencermati berbagai sentimen, rupiah masih ada potensi untuk melanjutkan tren pelemahan, support menarik dicermati ada pada level Rp16.450/US$ sebagai support paling krusial.
Jika nilai rupiah terjadi penguatan, resistance amat menarik dicermati pada level Rp16.300/US$ dan selanjutnya Rp16.200/US$ sebagai resistance potensial.

Laporan pekerjaan AS
Suasana kebatinan pasar global pada Jumat ini akan cenderung waspada karena menunggu rilis laporan pekerjaan AS nanti malam. Setelah sebelumnya para investor disuguhi oleh data yang memberi sinyal campur aduk.
Klaim pengangguran AS yang diumumkan tadi malam, melampaui ekspektasi pasar dengan angka mencapai 219.000 klaim. Klaim lanjutan juga lebih tinggi, mencapai 1,88 juta pengajuan.
Sebelumnya, ISM Service Index dilaporkan lebih kecil ketimbang ekspektasi di angka 52,8, turun dibanding Desember di 54,1.
Pasar juga masih terbebani ketidakpastian seputar perang tarif AS dengan negara-negara lain, terutama dengan China yang sampai hari ini belum menunjukkan kemajuan negosiasi.
Dari dalam negeri, pelaku pasar akan menanti pengumuman posisi cadangan devisa RI pada akhir Januari. Setelah menyentuh rekor cadev tertinggi pada akhir tahun, ada potensi nilai cadangan devisa akan turun karena terkurasi upaya intervensi kejatuhan rupiah. Pada Januari lalu, rupiah merosot 1,21%, menjadi mata uang terburuk di Asia.
Bank Indonesia juga akan menggelar lelang rutin Sekuritas Rupiah Bank Indonesia hari ini. Melihat tren di pasar sekunder, ada potensi yield SRBI kan kembali dipangkas oleh BI. Itu bisa memperkuat ekspektasi akan terjadinya pemangkasan bunga acuan lebih lanjut oleh BI.
Asing keluar dari saham
Kejatuhan pasar saham kemarin telah menyeret IHSG ambles lebih dari 2%. Arus keluar modal asing pada perdagangan Kamis, menyentuh level tertinggi dalam enam bulan terakhir, mencapai US$ 143,1 juta atau sekitar Rp2,33 triliun.
Sementara arus modal asing dari pasar surat utang, data terakhir 4 Februari, masih tercatat positif dengan pembelian SUN senilai US$ 44,3 juta atau Rp723,41 miliar.
Para pelaku pasar mungkin masih akan ragu untuk masuk ke pasar dengan 'pembantaian' harga saham kemarin, terutama di saham-saham bank yang ambles cukup dalam.
Dampak perang dagang dan kekhawatiran akan kesehatan kondisi fiskal mungkin akan jadi isu yang dicermati.
Pasar modal negara berkembang dinilai akan terdampak lebih besar ketimbang mata uang.
Selama ini, mata uang mengalami dampak terbesar secara langsung setiap kali ada akrobat tarif oleh Trump. Namun, pada Perang Dagang 2.0 ini pasar saham lebih dahsyat terkena guncangan. Pasar saham AS ambles 11,5% ketika tarif impor AS diumumkan atau saat pembalasan dari China diumumkan, menurut laporan Liberty Street Economics The Fed, dilansir dari Bloomberg.
Berkaca pada pergerakan bursa emerging market dan bursa saham China, pada periode perang dagang pertama, prospeknya lebih suram pada ekuitas ketimbang pada valas.
Indeks saham MSCI Emerging Market memperlihatkan lintasan serupa. Ancaman-ancaman terhadap pertumbuhan AS dan global, ditambah pemburukan ketegangan dua ekonomi terbesar akan menekan saham-saham emerging market. Terutama ketika perlambatan ekonomi Tiongkok terus menerus membebani sentimen.
(rui)