Hal ini berbeda dengan kondisi pada 2022 di mana disparitas harga antara HBA dan ICI terpaut terlalu jauh, lantaran harga ICI jauh lebih tinggi daripada HBA.
Dengan kondisi tersebut, kata Fathul, eksportir batu bara baru akan dirugikan jika dipaksa mengacu pada HBA dalam kegiatan jual-belinya. “Karena HBA di-update per bulan, sementara ICI per pekan,” tuturnya.
Fathul pun mengaku menyambut baik wacana mandatori penggunaan HBA dalam transaksi ekspor batu bara lantaran diyakini dapat meningkatkan kedaulatan Indonesia dalam penentuan harga batu bara di pasar internasional.
Perbaikan Formula
Hanya saja, dia menggarisbawahi, ke depannya formula HBA harus diubah agar lebih mencerminkan biaya penambangan di Indonesia yang makin tinggi dikarenakan stripping ratio yang kian besar dan biaya pembebasan lahan serta bahan bakar yang makin tinggi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebelumnya mengumumkan rencana pemerintah untuk mewajibkan penggunaan HBA Indonesia dalam kegiatan ekspor, agar komoditas tersebut tidak dibanderol lebih murah dibandingkan dengan harga global.
Dia bahkan mengancam akan mencabut izin ekspor pengusaha batu bara jika bertransaksi menggunakan harga acuan selain HBA yang ditetapkan pemerintah.
“Saya minta kepada Dirjen [Minerba] untuk menghitung betul HBA kita dibandingkan dengan ICI. ICI lebih rendah dari HBA. Saya minta, tidak waktu lama lagi, kami akan mempertimbangkan untuk membuat keputusan menteri agar HBA dipakai untuk transaksi di pasar global,” tegas Bahlil dalam konferensi pers kinerja Kementerian ESDM periode 2024, Senin (3/2/2025).
“Kalau ada perusahaan yang tidak memenuhi itu, maka kami punya cara agar mereka bisa ikut. Bila perlu, kalau mereka tidak mau, kita tidak usah [terbitkan] izinkan ekspornya.”
Bahlil mengaku kesal lantaran harga batu bara Indonesia kerap kali dibanderol lebih murah dibandingkan dengan harga dunia, padahal Indonesia mendominasi batu bara yang beredar di pasar global.
Menurut Bahlil, total konsumsi batu bara dunia mencapai sekitar 8 miliar ton, di mana Indonesia menyumbang sekitar 30%—35% dari total batu bara yang beredar di pasar global.
Dia menegaskan, batu bara Indonesia memiliki dampak sistemis, masif, dan terstruktur terhadap pasar energi global jika Indonesia sewaktu-waktu melakukan pengetatan ekspor.
“Masak harga batu bara di negeri kita dibuat lebih murah? Masak harga batu bara kita ditentukan oleh negara tetangga? Negara kita harus berdaulat untuk menentukan harga komoditas sendiri,” tutur Bahlil.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)