Logo Bloomberg Technoz

Ekonom memperkirakan, agenda selanjutnya Trump adalah menyasar penerapan tarif pada negara-negara BRICS (Brazil, Rusia, India, China, South Africa), aliansi di mana Indonesia baru saja tergabung di dalamnya. BRICS telah menjadi kelompok yang strategis, dari segi militer internasional, keamanan mata uang hingga komoditas global.  

Sejauh ini, AS masih mencatat defisit perdagangan terhadap hampir semua anggota resmi BRICS (10 negara), kecuali dengan Brasil di mana negeri adikuasa itu masih membukukan surplus dagang senilai US$ 7 miliar, tahun lalu, berdasarkan data Biro Analisis Ekonomi AS (BEA) yang dikutip Bahana Sekuritas.

Indonesia menjadi negara urutan ke-15 dalam daftar mitra defisit perdagangan terbesar AS dan menjadi nomor tiga di BRICS setelah Tiongkok dan India. Nilai defisit dagang AS dengan Indonesia mencapai US$ 17,9 miliar. Dengan kata lain, Indonesia mencatat surplus dagang dengan Amerika di mana nilai yang dijual ke negeri itu lebih besar ketimbang yang dibeli dari AS.

Indonesia mencatat nilai ekspor yang besar ke AS (Riset Bloomberg Technoz)

Mengutip data Badan Pusat Statistik RI, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke AS pada 2024 lalu mencapai US$ 26,31 miliar, naik 19,3% dibanding 2023. Nilai ekspor ke AS menyumbang 10,6% total ekspor Indonesia ke berbagai negara di dunia sepanjang tahun lalu. Sedangkan impor nonmigas RI ke AS pada tahun lalu 'hanya' sebesar US$ 9,46 miliar, turun 4,8% dibanding tahun 2023.

Alhasil, AS keluar sebagai negara penyumbang surplus dagang terbesar Indonesia senilai US$ 16,84 miliar, terutama disumbang dari ekspor mesin, perlengkapan, elektronik, juga pakaian dan aksesoris serta alas kaki.

Dengan nilai surplus dagang yang besar di mana itu menyumbang pasokan valuta asing domestik sekitar US$ 1,5 miliar per bulan, kebijakan tarif tambahan untuk barang-barang yang dijual oleh Indonesia pada AS, bisa mempengaruhi nilai rupiah, menurut Bahana.

Ketika nilai surplus dagang dengan AS tertekan, itu artinya pasokan valas dari kegiatan dagang terancam berkurang. Alhasil, rupiah bisa melemah akibat keterbatan suplai valas yang dapat melambungkan nilai dolar AS.

Dumping Bisa Kian Banyak

Menurut kajian Bloomberg Economics, keterpilihan Trump yang membawa sejumlah kebijakan kental bernuansa proteksionisme, secara umum akan meredupkan prospek perekonomian Indonesia, sama halnya akan berdampak pada ekonomi negara-negara ASEAN tahun ini.

Perekonomian bisa makin lesu karena ketidakpastian geopolitik bisa menahan laju investasi masuk ke negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Juga, tekanan dari kebijakan moneter global yang lebih ketat dalam jangka panjang sehingga membuat biaya pendanaan jadi makin mahal.

Kini penerapan tarif nyatanya terjadi lebih cepat ketimbang perkiraan sebelumnya. Tarif impor AS dari China, efektif mulai 4 Februari sebesar 10% dan dibalas oleh Tiongkok dengan mengenakan tarif impor dari AS sebesar 15%.

Pengenaan tarif impor pada China oleh Trump, "Dapat meningkatkan 'pembuangan' [dumping] barang-barang murah Tiongkok ke wilayah ASEAN. Itu akan memberikan denyut deflasi lebih kuat yang menguntungkan konsumen ASEAN dalam waktu dekat," kata Ekonom Bloomberg Economics Tamara Mast Henderson.

Perdagangan AS dengan negara-negara ASEAN (Bloomberg Economics)

Akan tetapi, kebijakan dumping Tiongkok yang makin menjadi-jadi, bila tidak ditanggulangi oleh negara yang menjadi sasaran, maka bisa memicu risiko yang tak kalah berbahaya. "Risiko lebih besar yaitu ancaman bagi industri lokal yang pada akhirnya mengancam lapangan kerja," kata Henderson.

Sebagai catatan, Tiongkok sejauh ini keluar sebagai negara penyumbang defisit dagang terdalam Indonesia pada 2024. Nilai defisit dagang RI dengan China tahun lalu mencapai US$ 11,40 miliar. 

Nilai impor nonmigas Indonesia dari China pada tahun lalu mencapai US$ 71,63 miliar. Naik dibanding tahun sebelumnya US$ 62,18 miliar.

Kontribusi impor ASEAN ke Amerika Serikat (Bloomberg Economics)

Bagi Indonesia yang mesin utama ekonomi adalah dari konsumsi domestik, sebenarnya masih relatif bisa bertahan di tengah Perang Dagang 2.0, menurut ekonom Bloomberg Economics.

"Secara keseluruhan, negara Asia Tenggara yang ekonominya digerakkan oleh domestik seperti Filipina dan Indonesia seharusnya bisa bertahan lebih baik dalam jangka panjang. Namun, mereka tidak akan kebal terhadap volatilitas mata uang dan ancaman arus keluar modal," kata Henderson.

Selain risiko volatilitas mata uang, ancaman arus keluar modal dari pasar keuangan domestik, Indonesia perlu mengantisipasi perlambatan arus investasi masuk juga efek dari politik dumping China.

Antisipasi Indonesia

Dalam 100 hari Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, tercatat ada beberapa kebijakan yang cukup 'mengejutkan'. 

Pemulihan konsumsi domestik demi membantu laju perekonomian agar tidak makin melambat, terlihat menjadi fokus utama, sejalan dengan upaya menangkal dampak turbulensi pasar global terhadap nilai tukar, juga mengantisipasi efek perang dagang.

Pertama, keputusan RI bergabung dengan BRICS. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai, bergabung dengan BRICS bisa memperluas akses perdagangan dan investasi Indonesia.

“Ya tentu kalau secara trilateral, atau dengan multiple negara, Brasil, Rusia, India, China. Ini akan makin terbuka lagi akses perdagangan dan investasi,” kata Airlangga.

Sebelumnya, Airlangga juga menyatakan, Pemerintah RI berniat mengajukan fasilitas pembebasan tarif bea masuk dari AS atau Generalized System of Preferences (GSP) di era Trump ini. "Mungkin kita akan dorong (GSP) karena kita statusnya sebagai country strategic partner," kata Airlangga, akhir November lalu. 

Airlangga dan Sri Mulyani saat konfrensi pers RAPN 2025 di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jumat (16/8/2024). (Bloomberg/Andrean Kristianto)

GSP merupakan fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk yang diberikan secara unilateral oleh Pemerintah AS kepada negara-negara berkembang di dunia, termasuk Indonesia, sejak 1974. Namun, fasilitas tersebut tidak bisa dinikmati terus menerus karena wajib melalui evaluasi untuk menentukan fasilitas bisa diperpanjang atau dihentikan.

Kedua, perluasan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) menjadi 100% dan selama 12 bulan. Walau mendapat tentangan keras dari para eksportir, Pemerintah RI sejauh ini bergeming. Melalui beleid yang efektif berlaku 1 Maret nanti, pemerintah berharap cadangan devisa bisa bertambah sekitar US$90 miliar dalam setahun.

Ketiga, penurunan BI rate. Pada Rapat Dewan Gubernur BI edisi Januari, bank sentral mengejutkan pasar dengan pemangkasan bunga acuan, BI Rate. Penurunan BI Rate, meski menuai spekulasi adanya tekanan politik dari Presiden Prabowo, bisa diharapkan memberi dorongan pertumbuhan pada perekonomian yang sudah lesu sejak 2023 lalu. Inflasi RI pada Januari lalu sudah menyentuh level terendah sejak tahun 2000, secara tahunan di angka 0,76%.

Keempat, penghematan APBN hingga Rp306 triliun, setara dengan pengurangan belanja sebesar 8,5% untuk tahun ini. Langkah penghematan besar-besaran itu, memberi ketenangan pada pasar karena defisit fiskal kemungkinan bisa terjaga di level 2,5%, di tengah hilangnya potensi penerimaan karena PPN yang batal naik.

Meski, pasar masih akan mencermati jurus lebih ditunggu yakni bagaimana Indonesia akan meningkatkan pendapatan di tengah kelesuan ekonomi domestik, perang dagang 2.0, juga volatilitas harga komoditas, di tengah beban utang jatuh tempo yang mencapai kisaran Rp800 triliun tahun ini.

-- dengan bantuan laporan Azzura Yumna, Dovana Hasiana.

(rui/aji)

No more pages