Kencangnya kritik masa kini barangkali tak terbayangkan pada tahun-tahun sebelumnya. Video kritik kini viral di media sosial. Kemudian tiruan grafiti seperti 112 itu juga dicoretkan di berbagai fasilitas umum seperti di halte bus, perhentian taksi hingga di stasiun-stasiun layang di sepanjang ibu kota.
Gelombang skeptisme atas monarki ini juga dimotori oleh Partai Maju Bergerak, salah satu kelompok politik arus utama yang menyuarakan penentangan atas Pasal 112. Partai ini belakangan mendapatkan tingkat popularitas dan elektabilitas yang cukup tinggi menyusul partai dan kelompok pro demokrasi yang didukung oleh mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang kini diasingkan setelah dikudeta. Diketahui sejak 2001 dan pada saat menjabat, partai Thaksin Shinawatra selalu mendapatkan kursi mayoritas dan menang pemilu namun kemudian digulingkan oleh militer yang bekerja sama dengan monarki.
"Sentimen atas zaman kini sudah berubah. Yang akan kalah itu kaum 1% yang terdiri dari elite, militer dan uang," kata pemimpin Maju Bergerak Pita Limjaroenrat yang figurnya kini ada dalam peringkat atas survei sebagai salah satu kandidat perdana menteri.
Kondisi saat ini di Thailand menjadi tantangan paling besar bagi kerajaan dan militer Thailand yang selama ini mencegah demokrasi hidup di sana. Dalam dua dekade terakhir terjadi dua kali kudeta, sejumlah pengajuan amandemen konstitusi dan juga aksi-aksi besar turun ke jalan menyuarakan protes terhadap rezim termasuk protes besar-besaran yang terjadi pada 2020 untuk menggulingkan monarki. Ketidakstabilan ini mempengaruhi pula kondisi ekonomi Thailand bahkan tahun ini pasar saham negara itu dicatat sebagai yang terburuk di Asia.
Namun demikian sekalipun gelombang pro demokrasi kian kencang menuju pemilu, Senat yang ditunjuk militer dipastikan mengamankan agar figur yang menjadi keinginan militer yang menjadi perdana menteri. Sebagai gambaran, sekalipun partai yang disokong Thaksin yaitu Partai Pheu Thai berkoalisi dengan pemerintah namun ada kemungkinan bahwa partai itu akan digulingkan lagi jika ingin mencoba mengubah sistem yang dibuat oleh militer dan kerajaan.
"Pertarungan yang sesungguhnya adalah bagaimana pusat kekuasaan Thailand merespons keinginan massa agar ada reformasi. Sentimen antimonarki berkembangan dan oleh karena itu perdana menteri nantinya harus bisa menutupi hal-hal ini" kata profesor dari Universitas Chulalongkorn di Bangkok, Thitinan Pongsudhirak.
Sementara Raja Vajiralongkorn diketahui pada akhir pekan lalu menghadiri acara penobatan Raja Charles III di London, Inggris. Vajiralongkorn dilaporkan juga semakin sering menghabiskan waktu berada di Thailand sejak adanya protes massal pada 2020 lalu. Sebelumnya dia banyak menghabiskan waktu di Jerman. Dalam beberapa bulan ini, Raja Vajiralongkorn sibuk dengan kegiatan antara lain menghadiri upacara kelulusan di universitas, mengadakan upacara ritual Buddha dan bahkan mempertontonkan dirinya memasak makanan bagi para tenaga kesehatan.
Terkait kondisi terkini, perwakilan Kerajaan Thailand menyatakan tak ingin mengomentari sentimen yang tampak di media sosial itu. Sementara juru bicara pemerintah juga mengatakan tak ingin mengomentari isu politik pada masa kampanye dan menyarakan agar pertanyaan politik bisa langsung ke partai Perdana Menteri Prayuth Chan-Ocha yakni Partai Nasional Thai.
Ketegangan bahkan diketahui sudah terasa sejak 2016 lalu saat Raja Vajiralongkorn naik tahta menggantikan ayahnya yang mangkat yaitu Raja Bhumibol Adulyadej yang tutup usia 88 tahun. Setelah naik tahta, Raja Vajiralongkorn begitu tegas melangsungkan otoritasnya dan mengambil alih langsung komando atas sejumlah unit militer dan mengambil alih secara langsung aset-aset Crown Property Bureau yang bernilai miliaran dolar termasuk mengontrol bank terbesar di Thailand.
Ketegangan dan protes meletus pada 2020 dengan adanya pergerakan mahasiswa yang melawan tradisi tabu mengkritik kerajaan itu. Massa mahasiswa juga meminta agar ada transparansi oleh monarki. Meskipun belum berhasil namun para simpatisan kini menuju pemilu banyak yang memilih berada di pihak Maju Bergerak.
"Gerakan ini mulai dari gerakan budaya dan perubahan struktur yang melawan simbol kekuatan tradisional. Kami tak butuh panah atau pisau untuk melawan musuh kami namun kami sudah menjadi apa yang mereka paling takutkan yaitu memilih orang-orang yang representatif," kata Piyarat Chongthep, aktivis pergerakan tahun 2020 yang kini juga menjadi kandidat dari Partai Maju Bergerak.
Piyarat salah satu yang pernah dijerat dengan berbagai pasal oleh otoritas Thailand termasuk lese majeste. Dia salah satu dari 250 yang menghadapi tuntutan leste majeste sejak demonstrasi besar pada Juli 2020 lalu.
Gelombang kritik dan skeptisme terhadap monarki juga kini kian merembet ke generasi muda. Para pecinta film bioskop alias movie-goers juga menunjukkan sikap yang berubah. Kini mereka banyak yang tak lagi berdiri kala diperdengarkan lagu kebangsaan yang diputar sebelum pertunjukan film dimulai. Padahal tindakan itu pada masa lalu akan bisa berujung pada ancaman hukum. Tak hanya itu grafiti jalanan, stiker dan berbagai wadah seni dijadikan saluran kritik dan frustrasi rakyat terhadap rezim. Gambaran ini bisa ditemukan di mana-mana di Bangkok dan sekitarnya.
(bbn)